Tuan Lori

Adinda Amalia
Chapter #45

44: Selumbari


Mendengar suara kencang yang tak memberi pertanda baik, Karun melesat segera. Jalanan perkampungan, walau kecil, setidaknya masih membantu para polisi untuk mendapat sudut pandang yang luas dan mungkin saja menangkapnya.

Tak terlalu bergeser dari posisi semula, Karun berlari di belakang deretan rumah sederhana warga. Paling tidak, pohon-pohon tinggi di samping masih cukup untuk menyembunyikan keberadaannya.

"Kejar!"

Karun terkesiapan bukan main, teriakan polisi tiba-tiba sudah sangat melengking, dia tak sadar bahwa mereka telah sedekat itu.

Tak punya pilihan lain, Karun berlari kian menjauh dari rumah warga maupun jalanan. Memasuki area penuh pohon-pohon jauh lebih tinggi nan lebat serta rerumputan menyentuh lutut, menyibak tali tempat menggantungnya karton bertulis sesuatu menggunakan tinta merah.

Berbahaya!

Dilarang masuk!

Karun terus berlari kencang. Ranting-ranting kering menjulur rendah dari batang besar pohon, sesekali menyenggol pipi dan lengan hingga menyisakan goresan maupun cairan merah mengalir.

Merasa telah cukup aman, Karun perlahan menghentikan langkah. Otot kaki sudah terasa panas, perut sedikit nyeri seperti tertusuk. Sialnya, dia meninggalkan setengah roti dan justru membawa buku bersampul putih.

Karun menghela napas gusar. Asal meraih daun lebar, kemudian meletakkan di tanah dekat pohon besar sehingga dia bisa duduk sambil menyandar. Dia berlari saat hangat oranye masih tersisa sedikit. Saat menyadari, tiba-tiba sekeliling telah gelap.

Angin malam menerjangnya. Dengan cepat mengubah tubuhnya yang gerah dan lengket akibat keringat, menjadi dingin, bahkan menggigil sesekali.

Karun tanpa sengaja mendongak dan seketika tertegun. Entah kapan terakhir kali dia memandang langit. Yang jelas, saat itu pasti dia masih tertawa lebar dengan polos, penuh semangat menghitung jumlah titik-titik berkilauan di cakrawala.

Satu perbedaan lain yang entah membuat senang atau sedih, langit bintang kali ini tertutup oleh dedaunan lebar dan cabang pohon. Saat perasaan bercampur aduk, Karun juga merasakan kepalanya menjadi sedikit lebih dingin seiring udara segar makin memenuhi paru-paru. Dia mendadak terpikir sesuatu, kalimat yang dibaca di buku bersampul putih itu.

Menerjang masuk.

Atap ranting dahan.

Karun menyipit penuh selidik. "Ranting dahan?" 

Hari lalu setidaknya dia masih berlindung di bawah atap, entah genting tua, seng, atau dak beton—yang memungkin ada rooftop di atasnya. Namun, kali ini, semesta dengan gesekan lirih dedaunan yang menemani.

Kemudian, satu hal sederhana yang juga ikut menarik atensi khusus, papan larangan yang diabaikan beberapa waktu lalu.

Keduanya terdengar mirip dengan apa yang tertulis di buku bersampul putih.

"Lagi-lagi kebetulan? Atau jangan-jangan …."

Karun terdiam sejenak, kemudian tersenyum miring. Memejam mata dan memilih memikirkan ke mana dia harus pergi lagi esok hari.

Samar-samar fajar menunjukkan eksistensi di ujung timur, terlihat kian jelas usai Karun menyibak cabang pohon—setinggi perut—terakhir dari hutan.

Sisi lain yang berbatasan dengan hutan itu ternyata perumahan cukup ramai. Bangunan-bangunan memang masih sederhana, tetapi sudah berhimpitan dengan sisa satu setengah hingga dua meter.

Karun melangkah di pinggiran aspal kecil tanpa garis putih atau pun kuning. Beberapa halaman rumah warga yang berbatasan dengan jalan, terdapat pagar rendah, berbentuk dinding atau pun sekadar terbuat dari kayu. Karun asal meraih permukaannya lantaran tangan terasa berat.

Sialnya, suasana hati langsung berantakan, bahkan lebih parah dari sebelumnya, karena menyadari entah sejak kapan buku bersampul putih ada di genggaman.

"Apa lagi? Kali ini apa lagi? Masih terus ada-ada saja!" Karun melanjutkan langkah, tetap menggerutu sambil tak berhenti membalik kasar beberapa halaman.

Menyenggol si bocah terpejam. 

Karun berdecak kesal. "Apa maksudnya ini? Aku akan menabrak anak kecil yang berlari sambil menutup mata? Dasar! Kapan isi buku ini masuk akal?" Dia menggerutu sambil memeriksa sekilas kalimat-kalimat lain.

Tiba-tiba seseorang menghantam pundak, membuat tangan tergeser sehingga buku bersampul putih jatuh dan Karun terdorong mundur selangkah. Dia spontan mendengus sambil menoleh guna mencari tahu siapa gerangan.

Lelaki itu tampaknya seumuran dengan Karun, dia langsung berlalu pergi tanpa menoleh sama sekali. "Maaf, gue buru-buru."

Dongkol seketika menguasai raga. Karun hendak mengejarnya, tetapi mengurungkan niat. Lagi-lagi berdecak kesal, sambil mengambil kembali buku bersampul putih dari aspal.

"Jenderal menunggumu."

"Iya. Lagian Ayah juga udah berpesan gitu," lelaki tersebut terdengar agak gusar, suaranya sayup-sayup ditangkap telinga Karun.

Lihat selengkapnya