Karun terus berpindah-pindah tempat. Hanya berhenti sebentar untuk mendapatkan makanan—dengan berbagai cara, kemudian pergi lagi. Dia tak boleh meninggalkan jejak barang sedikit.
Beberapa hari berlalu sangat cepat. Hampir seluruh otot kakinya keram lantaran berjalan dan berlari nyaris tanpa henti. Tiap malam datang, dia terlelap dalam sekejap akibat kelelahan di siang hari.
“Dengar desas-desus dari kampung sebelah? Katanya entah di mana ada orang aneh yang berkeliaran. Gimana kalau dia datang kemari?”
“Benar …, pengurus desa mungkin perlu bekerja sama dengan polisi.”
Sayangnya, malam ini Karun justru terus terbangun. Tanpa henti terbayang-bayang pembicaraan dua wanita muda saat dia hendak pergi dari bantaran sungai—airnya cukup bersih—usai mencari minum, sore tadi.
Kabar tentangnya menyebar begitu cepat di antara warga, apalagi polisi. Mau berlari secepat apa pun, rasanya para penegak hukum memang mendekat, bahkan lebih gesit darinya. Buku bersampul putih itu benar.
Tanpa sadar, jemari pemuda akhir usia belasan itu menggenggam erat.
Karun selama ini menganggap dirinya sebagai orang yang pemberani. Dia membenarkan jalannya sendiri, meski peraturan menentang. Tetap berjuang, tanpa peduli apa ancaman apa pun yang menghadang.
Namun, perlahan Karun sadar. Dia hanyalah pengecut.
Bila memang tangguh dan pemberani, seharusnya tak pernah lari dari awal.
Kini, ketika bayang-bayang polisi kian jelas dan harapan untuk kabur makin menipis, mungkin saatnya untuk menjadi pemberani yang sesungguhnya. Bila Karun mengatakan semua, tujuan atas perbuatannya itu; dia pasti akan dibenarkan.
Namun ….
Genggaman jemarinya kian kuat.
Karun tak bisa. Bagaimana bila buku bersampul putih itu benar? Maka Karun tak memiliki pilihan lain, bukan?
Tak mau, Karun sungguh enggan. Dia jijik membiarkan nyawanya diambil sebagai hukuman. Dia akan bebas dan bukan berdiam diri di dalam sepetak ruang dengan besi-besi mengurung, hingga kepala terasa pecah dan raga bagai hancur.
Hanya membayangkan saja, membuat dada sesak bukan main. Karun sama sekali tak menginginkan hal itu. Dia menunduk, gerigi mengatup kencang. Seluruh tubuh yang nyari akibat lelah, seketika menjadi-jadi.
Tidak, tunggu sebentar.
Bila masalahnya adalah buku bersampul putih itu, maka dia hanya perlu menghilangkannya!
Karun asal menyambar dan membawa pergi buku tersebut. Dia mengacak-acak beberapa tempat sampah hingga akhirnya menemukan tiga batang korek api dan sebuah kotak kemasan benda serupa yang telah kosong.
Kembali ke area pepohonan di mana hampir tiada warga melintas, Karun menyalakan api di atas tumpukan daun kering. Sayup-sayup memeletik suara khasnya terdengar memuaskan. Gelap malam sedikit tersapu. Asap tipis mengepul menuju langit.
Wajahnya terasa sedikit hangat saat angin kecil menerpa lantaran Karun melemparkan buku bersampul putih ke dalam api. Dengan cepat corak bersih itu menjadi gelap, ujung-ujung tertarik mengkerut, abu-abu kecil beterbangan.
Karun belum beranjak atau pun mengalihkan perhatian sedikit pun hingga buku itu benar-benar habis. Namun, seharusnya dia tak perlu terlalu khawatir terlalu sejauh, nyatanya benda yang dia takutkan tersebut kini telah menjadi abu tanpa sisa, tiada beda dengan kertas biasa.
Karun kemudian pergi. Menjauh dari bekas api yang telah dipadamkan—tetapi asapnya sedikit-sedikit masih ada, lantas terlelap. Benar, dia pasti akan baik-baik saja, semua akan berjalan sesuai rencananya.
Saat bunyi gesekan dedaunan dan suara hewan bersahut-sahutan membuatnya terbangun, fajar telah datang. Karun bangkit dari posisi duduk, lantas melangkah. Sial, dia tersandung sesuatu yang membuatnya nyaris tersungkur. Menggerutu, lalu menunduk guna mengecek benda apa gerangan.
Seketika, dia terbelalak.
“Mustahil ….”
Itu kembali, buku bersampul putih.