“Ah, tanahnya masih ada yang nempel dikit di belakang.” Jati melepas satu tangannya dari kemudi, mengelap sekitar ujung atas sampul Buku Kinantan—yang dipegang Haw—menggunakan jari.
"Buku itu berisi tentang masa depan yang gak bakal bisa diubah, itulah kenapa selama ini gue gak pernah tertarik sama usaha Haw menghalangi tulisan di sana buat terjadi." Jati mengacak agak kasar puncak kepala gadis itu, membuat mata bulatnya yang memancar perasaan campur aduk—dia tak ingin memahaminya, terpejam sesaat. "Jauh sebelum kalian, gue udah berjuang melawan apa pun yang tertulis di sana … tapi semua sia-sia."
Jati kembali memegang setir menggunakan dua tangan. "Denger, ya …." Detak jantung berpacu sedikit lebih kencang daripada biasa. Dia sudah sekian kali meluapkan kesal dengan berbagai cara—bahkan yang brutal sekali pun, tak pernah berpengaruh. Anehnya, tuturan sederhana seperti ini justru menggetarkan hati, "Kalian berdua gak perlu lagi mempertaruhkan apapun demi mengotak-atik apa yang udah tertulis."
Jati tahu, suasana kabin hening seperti ini sangat berbeda dari biasa, bahkan cenderung tak nyaman. Namun, kali ini dia justru menginginkannya. "Jangan … sakiti diri kalian sendiri buat sesuatu yang percuma kayak gitu lagi." Setidaknya untuk sesaat, dia ingin bocah-bocah tersebut mau memahami. "Karena itu bikin gue jauh lebih tersakiti."
Roda tiada henti bergulir di atas aspal. Dari sinar terik, perlahan menjadi hangat. Terang menyilaukan, berangsur oranye lebih redup. Beberapa wilayah telah terlewati, Fero kembali memasuki Kota Purwokerto.
Tubuh perlahan agak terdorong ke depan ketika kendaraan berangsur geser ke kanan jalan dan kecepatan menurun. Jati memasukkan Buku Kinantan yang semula di dasbor, ke dalam laci di bawahnya. Lantas meninggalkan kabin saat Fero sepenuhnya menepi. "Kalian juga turun bentar …."
Menuruti ucapan Jati, Bana menahan sebentar pintu sebelah kiri truk usai berpindah memijak tanah, hingga Haw mengekor, sebelum menutupnya dan menciptakan dentuman khas. Lantas berjalan memutar kepala truk bersama gadis itu.
"Bana," suara lirih Haw berbeda dari biasa.
Pemuda itu terhenti, berbalik dan menyadari Haw ternyata tertinggal beberapa langkah—masih berdiri di trotoar tak jauh dari tempat Fero terparkir. Bana memandangnya penuh tanya.
"Ini tentang Jati …."
Mendengar Haw menyebut nama itu, Bana spontan menoleh. Jati telah berjalan mendahului keduanya, tanpa sadar telah berada di kejauhan.
Mereka berhenti di taman sederhana. Tanah sepuluh kali sepuluh meter, berbalut rerumputan segar, diapit perumahan kota yang minimalis. Dua kursi panjang, masing-masing di kanan dan kiri, berhadapan. Di tengah, terdapat flamboyan besar berdiri kekar, ranting penuh bunga merah mencuat ke segala arah, menjadikan rindang di bawahnya.
Tepat di ujung belakang taman, sungai membentang searah jalan raya, bantarannya setinggi tanah di sekitar sehingga perlu pagar—sederhana dari kayu setinggi satu meter—demi keamanan. Jati berdiri di sana, memandang semburat oranye agak menyilaukan di ujung cakrawala yang memantul di sungai.
"Lu … inget waktu kita bawa Fero berdua?" Haw menatap lembut, tak seperti biasa. "Gue ngefoto beberapa halaman Buku Kinantan dan minta lu buat baca sekian kalimat aja, tapi gue tahu lu lihat sesuatu yang lain.”
“Lihat gambar ketiga; baris keenam, tujuh, delapan. Jangan lama-lama, lampunya udah mau hijau delapan detik lagi.”
“Eh?” Bana seketika menjadi agak panik. Dia bergegas menekan salah satu gambar kecil agar tampil penuh di layar, tetapi tiba-tiba malah kian gelagapan. “Sial, kebablasan.”