“Ini!” Meja besar dikelilingi belasan pria berseragam hitam. Satu dari salah dua yang mengenakan pakaian sedikit berbeda—jas panjang, berdiri sambil memegang tongkat kecil guna menunjuk hasil proyeksi di dinding, salinan digital selembar dokumen. “Sebuah kemajuan besar!”
Di bagian atas dokumen, beberapa baris kata tertulis menggunakan huruf kapital seluruhnya, serta efek blok. Salah satunya berbunyi nama rumah sakit yang berada di provinsi sebelah.
Semua mata memandang tertuju ke sana. Sepetak bercahaya di dinding, paling mencolok dalam ruang remang-remang dengan deretan tirai menutup jendela kaca.
"Kita perlu segera menindaklanjuti hal ini." Sang letnan kolonel menggerakkan tongkat kecil—yang menunjuk ke hasil proyeksi—membentuk lingkaran. Kemudian mengetuk pelan dua kali.
"Atas apa yang telah didapatkan, kita gak memiliki lagi sedikit pun waktu bermalas-malasan!" Harim menurunkan tongkat, meletakkannya di pundak selagi siku sedikit terangkat. "Tetap sama seperti sebelumnya, saya akan kembali memimpin tim! Mengerti?"
"Siap, dimengerti!" Seluruhnya kompak menyeru, kecuali satu yang paling muda dan berseragam nyaris persis dengan sang letkol.
"Kalianlah yang terpilih secara khusus dari Kepolisian Khusus oleh tangan saya sendiri." Harim menurunkan tongkat, kemudian mendekat pada mereka. Meletakkan tangan di meja sehingga agak membungkuk, guna menyangga tubuh. "Kalian harus ingat, ini bukan sembarang tugas."
Sidden memutar bola mata malas seraya meletakkan beban tubuhnya di sandaran kursi. Kaki kirinya yang menyilang, dijatuhkan kembali. Bangkit dari kursi, dia beranjak meninggalkan ruang.
Harim melirik Sidden sesaat, lalu berdiri tegak kembali. Dia lantas berjalan mendekati hasil proyektor di dinding. "Kita perlu bergerak sekarang juga!" Tampilan dokumen digital itu diperkecil menjadi setengah ukuran, kemudian di sebelahnya muncul foto seseorang dan beberapa tulisan. "Berdasarkan profil orang ini yang berhasil kita kumpulkan. Maka, sumber informasi dan bukti kita selanjutnya adalah ….”
Seluruh perhatian tertuju pada sang letnan kolonel itu.
“T-Grandis Express.”
Sorot mata Harim seketika berubah mengerikan. Ditambah ruang minim cahaya, aura pekat nan sesaknya mudah menguasai sekitar. Dia tak akan melewatkan kesempatan ini. Apa pun yang ada di sana, akan digali hingga kering.
"Itu saja." Harim meninggalkan ruang. Lantas melangkah mengikuti ke mana bocah menyebalkan itu kira-kira pergi. Dengan cepat, dia menemukannya di lorong. "Woi."
Sidden menghentikan langkah. Dia tak berselera untuk memandang siapa gerangan di belakangnya. "Apa pun yang lu katakan, gue gak bakal—"
"Apa pun yang lu katakan, gue gak peduli," Harim berujar pelan, agak dingin. "Selama lu masih ada di sini, pakai seragam itu, bagian dari Kepolisian Khusus, … maka lu adalah salah satu anak buah gue yang berbakti."
Sang letnan kolonel lantas berbalik, pergi ke arah lorong yang berlawanan. "Gue tunggu." Dia merapikan kerah jas hitam panjang. "Kita gak punya banyak waktu."
Sidden mengangkat sebelah sudut bibir. Berujar lirih nan miris, "Berbakti?"
"Kerja bagus, semuanya!" Pria usia tiga puluhan berkeliling di halaman depan kantornya. Melewati deretan truk dan sepeda motor, serta lalu-lalang orang membawa kotak.
Karyawan-karyawan mengenakan jaket seragam, menoleh sesaat guna memandangnya. "Makasih, Bos!"
"Bonusnya jangan lupa, Bos. Saya udah kerja keras nih!" Salah seorang tertawa renyah.
Rawi ikut tertawa. "Loh, bonusnya sudah saya kasih tiap hari!"
"Bonusnya apa emang, Bos?"
"Perhatian dan kasih sayang!" Rawi lantas tertawa lepas.
"Rawiteja …."
Dengan senyuman yang sedikit surut, pria itu menoleh.
"Pemilik dan pemimpin ekspedisi T-Grandis Express." Dia menunjukkan lencana kepolisian khas dengan garuda kecil dengan sayap lebar di bagian atas. "Harimmurdhi, letkol. Kami dari Kepolisian Khusus, boleh minta waktu sebentar?"
Rawi terkejut. "Ada … urusan apa?"
Harim menyimpan kembali lencananya, ganti menunjukkan selembar kertas. Dia serius, "Kami telah mendapatkan izin untuk menggeledah tempat ini, saya harap Anda Gak keberatan, Pak Rawiteja."
Harim mengangkat sebelah tangan setinggi telinga, melambai kecil ke depan sebagai aba-aba pada belasan personel polisi berseragam hitam agar memasuki Gedung Pusat T-Grandis Express.
Rawi tak mengatakan apa pun, sekadar menggeser pupil ke arah anak buah Harim yang dengan segera beranjak.
"Selain itu." Harim menyimpan kembali surat izin penggeledahan tersebut. "Ada beberapa hal yang ingin kami pastikan. Bolehkan saya bertanya sesuatu dan meminta karyawan tertentu Anda melakukan beberapa hal?"
Tugas kali dilaksanakan oleh Kepolisian Khusus secara penuh. Harim memanggil anggotanya sendiri, alih-alih menggunakan personel Polisi Republik sebagai anak buah seperti biasa. Selagi mereka masih memeriksa dan mencari sesuatu yang dibutuhkan untuk kemajuan kasus, sang letkol dan Sidden pergi ke salah satu ruangan di Kantor Pusat T-Grandis Express bersama Rawi.