"Karyawan di sini yang namanya Jati …," Rawi tersenyum ramah kian lebar, "gak ada."
Harim cukup terkejut, tetapi dia menyembunyikan ekspresi itu. Meski begitu, dia tak menyerah. "Kurir sekalipun?"
"Iya."
"Iya?" Harim agak mengangkat alis. "Anda hafal seluruh nama karyawan?"
"Baru-baru ini saya ada rapat besar dan di sana salah satunya membahas keseluruhan karyawan yang bekerja di ekspredisi ini. Saya mungkin gak bisa menyebutkan satu-satu, tapi kalau Anda menyebut nama seseorang, saya bisa mengenali apakah dia karyawan T-Grandis Express atau bukan."
Rawi meraih mouse komputer. “Bila Anda tertarik, Letkol Harim …,” dengan mata tertuju ke layar, dia mencari-cari berkas di penyimpanan daring milik T-Grandis Express, “lihatlah ini.”
Harim duduk di depan komputer. Di bagian atas tertera jelas identitas lengkap ekspedisi. Kemudian di bawahnya terdapat tabel panjang berisi nama, posisi dalam pekerjaan, dan beberapa informasi singkat lain.
Dia menekan kombinasi tombol CTRL dan F, kemudian mengisi kolom pencarian dengan nama Jati. Sayang, tak ada hasil ditemukan. Harim berdecak kesal, lantas memeriksa secara manual. Dengan cepat menggeser dokumen ke bawah.
Deretan nama terpampang, dan dua di antaranya menarik perhatian Harim.
Jasziar
Jay
Berdasarkan perkiraan Harim, seharusnya nama Jati berada di antara dua tersebut. Namun, nyatanya nihil. Dia tak habis pikir, bukan sekali dua kali melihat pria muda menyebalkan itu mengenakan jaket T-Grandis Express, bahkan dengan namanya dibordir di sana. Namun, mengapa tiba-tiba seperti ini?
"Kan sudah saya bilang."
Harim melirik Rawi sekilas, kemudian bangkit dari kursi di depan meja komputer. "Bisakah Anda membuktikan bahwa data ini relevan?"
Terkejut, Rawi kemudian menghela napas sambil mengangkat alis keberatan. "Letkol Harimmurdhi …, saya memang bisa saja membantu, tapi yakin perlu sejauh itu?” Dia memaksa senyum tipis. “Saya bahkan gak paham sama apa yang Anda cari.”
Harim agaknya mulai—atau lebih tepatnya benar-benar—enggan memandang sesuatu di hadapannya saat ini hanya sekadar dengan mata kepala. Dia perlu mengira-ngira. Tidak, bahkan sesungguhnya sudah yakin.
Orang ini, Rawiteja, tak berada di kubu netral.
Meski begitu, sang letnan kolonel itu berpura-pura sekadar mencurigai, "Anda gak mengada-ngada, bukan, Pak Rawiteja?"
“Saya hanya melakukan sesuatu yang benar …,” Rawi tampak tenang, “dengan cara saya sendiri.”
“Letkol!” Seorang anak buah berseragam polisi warna hitam, membuka pintu ruang.