"Woi, woi, woi. Ada apa nih? Tamu gak diundang?"
Warna suara baru mengisi ruang, menarik perhatian seluruh mata. Seseorang berdiri sambil menyandarkan salah satu siku di ambang pintu, memandang mereka dengan mata sayu yang malas.
Rawi terkejut, "Jati!"
Sebelah sudut bibir Harim seketika terangkat, mengalihkan atensi sepenuhnya dari Rawi menuju pria muda itu. "Wah, wah. Lihat, siapa yang datang? Atau … perlu gue sebut pulang?"
"Berisik dengerin ocehan lu," logat mengomel Jati kentara sekali. "Lepasin pak tua gak guna ini. Gue yang bakal bicara."
Rawi langsung bersungut-sungut. "Siapa yang kamu bilang pak tua gak berguna? Siapa! Hah?"
"Setuju," Harim menyahut segera, kemudian mengangkat dagu—memberi isyarat, bahkan tanpa menatap Rawi. "Pergi."
Rawi sangat terkejut, spontan menoleh ke Harim dengn geram. "Lho? Ini yang punya kantor, saya, lho. Tuan rumahnya saya, lho. Kok Letkol asal ngusir?"
Harim tertawa, tatapannya masih tertuju ke Jati tanpa beralih sedikit pun. "Kebetulan banget ketemu sama lu di sini."
"Maaf nih," Rawi kian terheran, sedikit mencondongkan tubuh ke Harim, bermaksud mencari perhatian, meski tetap sia-sia. "Letkol?"
Harim belum berpaling sedikit pun.
Jati menyadari, sorot mata letnan kolonel itu bahkan kian tajam. Dia tahu, dirinya memang yang paling menarik. Mungkin hal sebaliknya memang tak berlaku, tetapi setidaknya Harim bukan paling buruk.
Jati membalas tatapan tajam tanpa ragu, membuat Harim sungguh tak ingin berhenti, "Jangan tarik kembali kata-kata lu."
Nada bicara Jati melirih, tetapi terdengar sangat mengintimidasi, "Siapa takut."
Terdiam sejenak, Harim kemudian sedikit mengangkat dagu. "Gue sebenernya males bicara dan lebih suka kalo lu langsung mengakui semua." Garis wajahnya berubah, dia berusaha mempermainkan Jati. "Mungkin lu bisa melakukan itu."
"Woi …,” Jati berujar malas dan terdengar meremehkan. “Mana logat sopan lu barusan? Udah kecebur sungai dan dibawa arus?" Dia sibuk menggaruk rambut tak gatal. "Gue juga warga sipil gak bersalah yang perlu dilindungi dan dihormati, lho. Ngomong yang bener kek sama gue."
Harim berdecak kesal. “Oi.” Dia tak suka lantaran Jati masih saja memutar-mutar situasi.
"Gini lho, Letnan Kolonel." Jati tak menunjukkan rasa hormat, meski memanggil begitu. "Pake karakter level SSR buat pertarungan babak pertama pasti bakal gak seru karena terlalu gampang, 'kan? Begitu juga keadaan kita, tahu."
Sejurus kemudian, tatapan Jati berubah tajam, menusuk raga dalam-dalam. Seketika tampak mengerikan. Langkah kaki mendekati Harim seolah menggema tiada henti sehingga kian kencang bersahutan. Lantas berujar lirih, "Lu pasti ngerti, 'kan?"
Harim terdiam—tanda mengiyakan, meski kesal yang terlukis di rautnya kian menjadi.
"Denger, ya. Gue gak tahu apa yang ada di kepala lu, tapi … kalo lu berhasil nemu bukti bahwa gue adalah Karun, dan tentunya cukup kuat buat melakukan penangkapan … gue bakal bersedia dibawa tanpa pembelaan."
"Tanpa nyewa pengacara?" Harim tertawa meremehkan, tetapi tak bisa sepenuh hati. Dia sesungguhnya heran dan agak was-was akan maksud pria muda itu sebenarnya. "Tingkah lu dari dulu gak berubah."
Jati kembali tampak makin malas, matanya hampir habis seperti orang yang ingin segera tidur, tak tertarik sedikit pun. "Hah? Lu ngomongin siapa?"
Harim selangkah mendekat pada pria muda itu, derap sepatunya sengaja dikencangkan, terlampau tak tahan akan sikapnya. Dia berkata pelan, tetapi penuh penekanan, "Bukti doang, 'kan? Itu gampang. Gue cuma perlu memaksa lu mengatakan di mana buktinya, atau bahkan langsung ngaku," lalu makin bergejolak ketika mengetahui garis wajah Jati berubah serius, "dengan segala cara."
Jati nyaris tak bisa berkata. Sayup-sayup langkah kaki cepat, merebut perhatian, lantaran sangat familiar. Kian lama, makin jelas. Kemudian berhenti dan terdengar suara lirih Rawi—di dekat pintu—yang agak panik, “Bentar, bentar. Kalian di sini dulu.”
Jati melirik belakang, seketika naik pitam bukan main.
Haw dan Bana datang.