“Ngomong-ngomong,” Bana meletakkan ponsel di tangan ke pangkuan, menoleh pada Haw yang sibuk memainkan topi hitam milik Jati. “Mbak Fraya banget baik, ya. Dia kemarin mau mesenin ojol tanpa digantiin uangnya.”
Gadis itu tak mengalihkan perhatian. Sekadar bergumam panjang sebagai respons untuk Bana.
Jati justru lebih tertarik. “Mbak Fraya siapa?”
“Bana …,” Haw tak mendengarkan Jati dan malah menoreh atensi pada pemuda di sebelah, “lu suka sama Mbak Fraya?”
Bana tersentak. “Apa?”
“Yah, soalnya kemarin …,” Haw meletakkan topi hitam milik Jati, lantas menatap pemuda di kursi kiri kabin itu cukup lekat, “lu repot-repot rapihin rambut dan sok manis di depan Mbak Fraya.”
“Gue bilang, Mbak Fraya siapa sih?” Jati kedengaran makin malas.
“Bukan berarti gue suka dong!” Bana menjadi kesal. “Gak usah nuduh! Gue melakukan itu cuma buat menaklukan hati Mbak Fraya doang ….”
Haw terkejut dengan dibuat-buat. “Biar dia mau nerima kalau lu tembak?”
“Biar mau bantuin pesen ojol!” Bana langsung berteriak kencang bukan main, tekanan darahnya naik hingga ubun-ubun.
Haw tak terpengaruh sama sekali. Dia terdiam sebentar, lalu dengan enteng menyahut, “Lu baper karena dia baik sama lu?”
“Gue bilang enggak!”
“Mbak Fraya, Mbak Fraya mulu! Berisik, kalian!” Jati mengacak rambut, gusar sendiri oleh tingkah dua bocah itu. “Kita ada mbak-mbak lain yang perlu dibahas!”
Haw meraih kertas rekap data paket, membaca salah satu nama penerima. “Mbak Sharaye?”
Jati menggeser pupil, memastikan lampu lalu lintas tetap hijau hingga truknya melewati perempatan. “Masih jauh?”
Bana mengangkat kembali ponsel di tangannya, sambil memperbaiki posisi kacamata sebelum memeriksa aplikasi maps. “Sepuluh meter lagi. Alamatnya rumah, bukan toko.” Dia meletakkan benda itu ke dasbor usai memberi aba-aba terakhir untuk paket tersebut.
Jati menahan pedal gas beberapa saat, sebelum perlahan menginjak rem sambil menoleh kiri. “Di sini?”
“Yap.”
Tanpa basa-basi, Jati membuka pintu sebelah kanan dan turun dari Fero. Diikuti Bana, meninggalkan kendaraan dari sisi kiri. Keduanya bergegas pergi ke bagian belakang untuk membuka pintu box.
Sementara sang gadis, berdiam di kabin sesaat guna memperbaiki rambut. Lantas melompat turun melalui pintu sebelah kiri yang dibiarkan terbuka oleh Bana, sambil berkata, “Hati-hati, isi paket itu smart tv, lho. Ada tulisannya di kertas rekap.”
Sejurus kemudian, terdengar suara khas kotak terjatuh—cukup kencang—disertai benda pecah.
Haw bergegas berlari menyusul sambil memekik, “Barusan gue bilang apa?”
Jati masih di dalam bak Fero, dengan santai bertanya, “Bana, barusan lu denger sesuatu gak?”
Bana menjawab enteng, “Enggak, gak ada suara apa-apa, kok.”
“Jangan ngada-ngada!” Haw berteriak makin kencang, “Kalian gak bisa mengelak! Barang buktinya kelihatan jelas banget! Kotak paketnya ada di bawah! Di aspal! Tergeletak! Itu apa kalo bukan ja—”
Jati tiba-tiba melompat turun dari box Fero dan langsung membungkam mulut Haw, “Dasar bocah! Beraninya lu ngomong kata-kata terlarang!”
“Be … bener banget! Haw, gak boleh sembarangan ngomong!” Bana keringat dingin. “Gue gak ngapa-ngapain, lho, ya. Gue cuma di bawah, nungguin Bang Jati ambil paket.” Dia lantas tertawa kecil beberapa kali, sangat dipaksakan.
Haw susah payah melepas tangan Jati darinya. “Apaan yang kata-kata terlarang? Bilang aja kalo kalian jatuhin—”
“Maaf, ada apa, ya?”
Ketiganya seketika terkesiap bukan main. Menoleh ke arah seseorang, yang kemungkinan adalah pemilik rumah sekaligus penerima paket. Serasa ingin pingsan, membayangkan apa yang harus dikatakan.
Namun, sejurus kemudian, ketiganya malah lebih dari santai.