Tuan Lori

Adinda Amalia
Chapter #52

51: Gadis Mungil


Tarikan gas Fero jauh lebih ringan daripada sesaat setelah meninggalkan Kantor T-Grandis Express Cabang Brebes sekian jam lalu. Bunyi box truk tiap kali melewati jalan berlubang atau berbatu, terdengar melengking lantaran hanya tersisa satu paket.

“Oi, oi, oi. Jangan bercanda. Pulang aja, ayo ….” Semula Fero melaju lirih, kini benar-benar berhenti. Mereka melewati jalan sederhana tanpa aspal dan baru saja berbelok ke gang yang jauh lebih sempit.

Memang terdapat gapura yang mengucapkan selamat datang ke sebuah desa—menandakan adanya pemukiman di depan sana. Akan tetapi, masih mending bila sawah di kanan kiri seperti sebelumnya, kini di sekeliling justru berdiri pohon tinggi yang rimbun.

Cahaya oranye yang hampir habis, makin kesulitan menerobos kemari. Angin kecil saja sudah sanggup menimbulkan bunyi gesekan dedaunan mengerikan di tengah sunyi. Ditambah kicauan burung melengking bak orang dalam bahaya menjerit mencari pertolongan.

“Yang jangan bercanda itu Bang Jati.” Bana mengerutkan alis kesal. “Alamat tujuannya tinggal dua ratus meter dari sini. Kita gak punya paket lain yang jaraknya deket, kalo harus pulang dan besok balik lagi, bakal kejauhan! Sekalian aja deh sekarang!”

"Justru itu!" Jati berlagak sangat serius.

"Apanya?" Bana spontan berteriak, heran bercampur gusar.

Jati terdiam sesaat—wajahnya kentara sekali menunjukkan bahwa dia kehabisan akal untuk beralasan, kemudian kembali bertingkah sok yakin. “Ini udah malam dan kalian masih bocah … gak baik, lho, keliaran jam segini.”

Haw yang duduk sambil menyandar dan melipat tangan di depan dada, sekadar menatap Jati keheranan seraya mengerutkan alis. Sudah terlalu malas bicara bila pria muda itu sudah bersikap begitu.

Bana mengernyit, berusaha mengintimidasi. "Kayaknya kita udah sering ngenterin paket sampai jam segini. Bahkan kadang Bang Jati masih nyetir aja, walau tengah malam."

"Kali ini beda!"

"Beda apanya?" Bana mencibir sambil mengamati sekitar, "Biasanya juga—" Terpikir sesuatu, dia perlahan memandang pria muda itu kembali dengan raut curiga bercampur jijik. “Jangan-jangan, Bang Jati … lu takut?”

Seketika Jati mematung, sesaat tak bisa berkata apa pun, kemudian tiba-tiba berteriak kencang, “Enggak!”

Bana tak kunjung menyahut, membuat hening menjadi canggung. Dia lebih menekankan tatapannya yang masih mengarah ke pria muda itu, dengan ekspresi masih serupa pula.

Terusik, Jati memekik kian lantang, "Gue bilang enggak!"

Pemuda itu belum juga buka suara. Matanya yang mengarah ke Jati malah makin lekat, bahkan kini dia tak sendirian.

“Kenapa sih Haw lu ikut-ikut!"

Menurunkan tangan yang semula berada di dasbor karena harus duduk sedikit miring demi memandang Jati lekat, Bana kembali menghadap depan, menyisakan lirikan untuk pria muda itu. “Kalau gitu buktiin … semisal lu emang beneran gak takut.”

Jati terkekeh enteng. “Bercanda lu, padahal gue mengkhawatirkan kalian berdua. Tapi kalo gak mau, ya udah.” Dia lantas menyempurnakan kembali posisi sempurna di balik kemudi Fero. Tanpa ragu, menggeser persneling dan menginjak gas … perlahan.

Tiga detik.

Lima menit.

Sepuluh menit.

"Maaf nih …,” Bana bersuara lirih sekali, menatap depan dengan pandangan kosong dan mengedipkan mata pelan beberapa kali, “kok kayaknya kita hampir gak gerak sama sekali?"

Gadis di sebelah, mengangkat alis miris. "Gue kasian sama mesin truknya."

"Gue juga kasian,” Jati tiba-tiba menoleh ke Haw degan gaya berlebihan, “kayaknya nih Fero waktunya service. Jadi, kita harus buruan ke dealer."

"Bohong banget!"

"Kalo emang takut, sini gue gantiin nyetir.” Bana meraih pegangan pintu kiri truk bagian dalam, bersiap membukanya. “Bang Jati duduk aja di sini sambil nutupin kepala pake jaket."

"Oke!" Jati tiba-tiba menyahut cepat, memegang setir erat, "Kita lanjut!"

Kali ini Fero sungguh melaju, meski tak memungkinkan speedometer untuk melampaui angka dua puluh. Jalanan tanpa aspal makin mengecil. Pemukiman warga juga belum terlihat. Satu-satunya cahaya hanya berasal dari lampu kendaraan itu.

Berselang sebentar, Fero berhenti kembali, tepat sebelum gang yang jauh lebih kecil. Di sana masih dipenuhi pepohonan tinggi berjajar, tetapi memiliki pagar dinding tinggi di kanan-kiri—meski penuh retak dan kotor.

"Oi, apa-apaan lagi?" Membuka kaca, Jati menengok keluar jendela Fero, memastikan gang tersebut benar-benar mustahil untuk untuk dilewati dengan kendaraan ini. "Chat penerimanya coba, ketemuan di mana gitu … atau apalah!"

Lihat selengkapnya