“Yang ada gue jadi ayam bakar bentar lagi ….” Menyandar kursi di balik kemudi dengan lesu, Jati mengeluarkan sebelah tangan dari kaca jendela sebelah kanan yang terbuka. Fero asal terparkir di pinggiran Alun-Alun Kalong—ini berbeda dengan tempat berembel-embel serupa di Kejaksaan, jaraknya sekitar lima kilometer dari sana—yang cukup rindang oleh pohon ketapang tinggi berjajar.
Jati melirik sekilas layar kunci ponsel yang menunjukkan angka dua belas kembar, lantas menghela. “Bisa-bisanya gue bawa Fero dari Brebes, tapi semua tujuan paketnya ke Cirebon.” Hal ini memang tak mungkin terjadi lantaran tiap provinsi memiliki kantor sub masing-masing untuk menangani pengiriman dengan tujuan ke daerah itu pula. “Padahal, kemarin ambil dari tempat yang sama, tapi gak ada yang keluar kota, tuh.”
Jati makin menggerutu, “Udah gitu AC-nya mati, lagi! Sengaja banget dikasih Fero yang bobrok gini segala. Gue pasti dipermainkan … sama orang sialan itu.”
“Udah, jangan salahin Om Rawi mulu, Bang Jati,” kata Bana. “Gitu-gitu dia ngelakuin ini buat lu. Yang minta buat jadiin T-Grandis Express sebagai sarana berpindah tempat, kan elu. Kalo muter-muter di Jawa Tengah terus kapan mau kabur?”
“Yah …,” Jati masih tak terlihat memiliki motivasi hidup, “tapi gue rasa sekarang kita gak perlu kabur, kayaknya gak apa-apa.”
Bana spontan mengerutkan alis. Sedikit menggeser posisi duduk guna memandang Jati lebih baik, dia sudah bersiap untuk mengomel lebih panjang lagi, tetapi Haw lebih dulu merebut perhatiannya, “Kayaknya enak ….”
Dua orang di samping gadis itu menjadi penasaran untuk menengok. Dia sibuk dengan ponsel Jati sejak tadi dan rupanya sedang melihat-lihat hidangan daging melalui mesin pencarian di internet.
“Apaan tuh? Steik?”
“Oh, ya,” Jati asal menggeser pandangan ke sembarang arah, “ngomong-ngomong soal steik … kita kemarin malam habis berapa? Banyak bangetkah?”
Haw agaknya mendengar sesuatu yang aneh. Dia spontan menoleh ke pria muda itu sambil mengerutkan alis. “Habisin apa?”
Bana agak tersentak. “Angka di struk pembayaran sampe enam digit, lho. Bahkan hal kayak gitu lu lupa?”
Haw makin gemas. “Enam digit? Jutaan dong? Kalian ngabisin apaan?”
“Bener juga … gue pake uang COD buat itu.” Jati menggaruk rambut bak orang sudah terlalu banyak beban hidup, tetapi anehnya dia juga tampak tak peduli. “Apa jangan-jangan karena itu, si orang ngeselin jadi marah dan mempermainkan gue sekarang?”
Haw memukul permukaan dasbor. “Gak usah sok mengabaikan gue! Bilang, kalian habis ngapain kemarin?”
“Yah, tapi tetap aja gak masuk akal. Gue juga yang punya T-Grandis Express, lho. Bebas dong, mau ngapain aja sama duit gue sendiri.” Dia lalu agak tersentak, terpikir sesuatu. “Bentar, tapi duit COD kan bukan seratus persen punya gue, bukannya sebagian harus disetor ke toko?”
Bana yang mendengarnya, tiba-tiba sangat tak cerewet, sekadar memandang pria muda itu sambil mengedipkan mata beberapa kali.
“Kalo bukan gitu, terus gimana duit pembeli bisa sampai ke penjual? Enggak, tapi nyatanya sekarang uang itu ada di T-Grandis Express, jadi seharusnya milik gue semua—”
“Ribet banget!” Bana akhirnya berteriak juga. “Masa bodoh deh sama duit COD itu! Toh udah berubah jadi steik yang ada di perut lu juga!”
“Steik?” Haw berteriak saking terkejutnya. “Kalian makan tanpa gue?”
Bana langsung panik. “Eh, gini, soalnya—”
“Padahal dari dulu gue yang selalu bilang kalo pengen makan steik!” Haw cemberut, suaranya bahkan hampir terdengar memelas, kemudian ganti menatap Jati dengan raut tak terima, “Giliran ada kesempatan, kok gue gak diajak?”
Jati keringat dingin, langsung memalingkan wajah.
Haw tiba-tiba berubah mengerikan, “Lihat gue, sialan!”
“Ha—habisnya mau gimana lagi!” Jati meliriknya sesaat, tetapi langsung berpaling lagi sambil mencondongkan tubuh ke samping agar menjauh. “Lu udah tidur dari sore banget, sedangkan kita baru makan steik udah lumayan malam. Kalo dibangunin, nanti ngamuk ….”
“Gue tidur jam sepuluh! Gak sore-sore banget tahu! Emang kalian makan steik jam berapa? Subuh?”