Harim tak ingat kapan terakhir kali dia menginjakkan kaki di pusat wisata belanja seperti ini. Sekalinya bisa berkunjung lagi, dia justru harus mengenakan seragam dan mengawasi personel-personel lain.
Sambil memijat dahi, Harim berusaha makin meredakan lelah dengan berpindah lebih ke pinggir. Namun, dia tiba-tiba terkejut dan malah kian sakit kepala saat mendapati seseorang datang. "Kenapa lu ke sini?"
"Gangguin … atau lebih tepatnya godain lu.” Jati justru tersenyum lebar. “Lu gak bakal bisa nangkap gue, 'kan? Yah … lihat lu makin kesel emang menyenangkan banget."
Harim sungguh ingin mengamuk lantaran amarahnya memang dibuat makin menjadi, tetapi dia berusaha menahan diri.
Jati tertawa singkat sambil mengalihkan pandangan ke deretan kios. "Bos ngasih gue libur sehari dan para bocah itu bilang pengen jalan-jalan, jadi gue nganterin mereka." Sejurus kemudian, dia kembali menatap Harim dengan kekesalan yang akhirnya diperlihatkan juga, "Tapi yang lebih penting …," berujar lantang, kemudian melirih, tetapi penuh tekanan, "kenapa lu selalu muncul ke mana pun gue pergi? Jangan-jangan kerja sampingan jadi stalker gue, ya? Mungkin sekarang waktunya buat menyerah dan nyari mimpi baru." Jati menepuk pundak Harim, "Gue bakal dukung lu, kok."
"Ogah amat!" Harim makin gusar. Menghentak pundak kencang agar tangan pria muda itu enyah darinya. "Cepet pergi sana! Gue di sini kerja, tahu! Jangan ganggu!”
“Bukannya kerjaan lu cuma ngejar gue, ya? Mumpung sekarang kita ketemu, lu pasti seneng, ‘kan?”
“Gue di sini bertugas, tahu! Memeriksa dagangan masyarakat, salah satunya memastikan orang-orang kayak lu gak bakal keracunan karena mengonsumsi makanan gak layak!”
Terdiam sejenak, tatapan Jati yang semula sekadar meremehkan, kini berubah, “Memeriksa, ya? Kalo gitu, kenapa patung di Alun-Alun Kalong kemarin gak dilakukan hal serupa? Padahal lu bahkan punya anjing polisi.” Dia melirik hewan berkaki empat di samping letkol itu.
Harim tak mengatakan apa pun.
“Letkol Harim?” seruan seorang pemuda terdengar dari kejauhan, kemudian disusul derap langkah cepat yang makin kencang. Bana menatapnya dengan mata lebar berbinar. “Anda di sini? Kerja?”
Harim menjadi sedikit gugup. “Yah, ada beberapa yang harus gue urus.”
“Apa itu?” Bana antusias.
“Kan ... udah gue bilang tadi, memeriksa dagangan masyarakat.”
“Anda bertugas sendirian?”
“Gue bawa anak buah.”
Bana masih terus memandangnya tanpa berkedip sedikit pun, bahkan senyuman yang semula tipis kini kian terangkat bak penggemar sejati berjumpa sang idola. Dia membuat Harim agak tak nyaman. “Apaan sih?”
“Saya …,” ekspresi berlebihan Bana makin menjadi, “boleh lihat Anda bertugas?”
“Selama gak bikin masalah, boleh aja.”
Pemuda itu terkejut bukan main. Dia sangat gembira dan kini sudah bisa mengekspresikannya dengan lebih normal. “Terima kasih banyak! Saya bakal belajar dari Letkol Harim!”
“Oh ya, gue baru inget.” Harim agak mengerutkan alis, kemudian menatap Bana cukup lekat. “Kami lagi butuh tenaga tambahan. Lu mau sekalian jadi asisten gue di tugas kali ini, Anak Muda?”
“Asisten ….” Bana tak percaya bisa mendengar kata itu dari sang letkol. “Serius boleh?”
“Tentu.” Harim tersenyum tipis, membuat Bana makin bersemangat dan gembira.
Sementara itu, satu orang lagi di sana, Jati, perhatiannya justru tersedot begitu saja saat tak sengaja menengok ke deretan kios. Meski sekadar melihat dari belakang, dia mengenali pasti lelaki seumurannya itu, lebih lagi mengenakan jaket dengan tulisan tak asing.
Six Seat Magical Cafe.
Karel melihat-lihat berbagai hiasan dinding yang dijual, kemudian berbicara dengan remaja lelaki di kirinya. Seperti membahas tentang di mana sisi toko mereka yang kosong dan perlu dekorasi tambahan.
Namun, bukan itu fokus tatapan Jati, melainkan seseorang ke sebelah kanan Karel. Gadis remaja, yang dia jauh merasa lebih familiar lagi, sedang meletakkan sebelah tangan di pinggang, menatap tajam Karel sambil berdecak kesal. Tanpa bisa mengalihkan pandangan, pikirannya seketika menjadi kalut. “Itu ….”