Harim berdiri di depan barisan anak buahnya. “Divisi A tim satu dan dua, periksa blok sini! Sisanya ikut Divisi E di blok sebelah! Ingat: jeli, teliti, cermat! Kita melakukan ini demi kesehatan masyarakat!”
“Baik!” Mereka lantas segera berpencar.
Bana nyaris tak bisa mengalihkan pandangan. Biasanya letkol itu hanya muncul di layar televisi, tetapi kali ini dia bahkan bisa berdiri di sampingnya ketika Harim sedang memberi arahan dengan tegas seperti barusan.
Harim melangkah, mengamati deretan kios di kanan kiri yang disinggahi anak buahnya. “Bana, berapa blok yang belum?”
Bana langsung menyadarkan diri dari lamunan, bergegas berlari kecil mengejar Harim sambil membaca kembali buku catatan kecil di tangan, “Kita sedang memeriksa yang terakhir.”
Harim bersedekap sambil sekilas-sekilas mengamati kinerja para personel di tiap kios. “Bagus. Syukurlah gue bawa Divisi E juga, jadi cepet selesai.”
Bana menyimpan catatan kembali. “Mereka ini anggota Kepolisian Khusus, ya? Seragamnya emang gak jauh berbeda jauh polisi biasa sih, tapi warna hitam.”
“Yap, karena yang seragam hitamnya bergaya elit kayak gini, cuma petinggi Kepolisian Khusus doang.” Harim lantas bergumam singkat, mengiyakan pertanyaan Bana sebelumnya. “Kadang kala gue kerja sama orang-orang di Satuan Kepolisian Khusus Kenegaraan, kadang juga sama Polisi Republik. Yah, tergantung situasi sih.”
“Begitu, ya ….”
“Lu tahu selama ini tugas utama gue adalah ngejar Karun—Jati, ‘kan? Bos lu itu gak pernah berhenti bergerak. Jadi, mau gak mau gue juga harus ikut,” katanya. “Bawa satu pasukan, misal Divisi A, berpindah tempat terus-menerus bakal sangat memancing perhatian. Makanya gue lebih sering bergerak sendiri, atau berdua sama Sidden, biar gak terlihat mencolok. Kalo sewaktu-waktu gue butuh pasukan, tinggal ambil anak buah dari Polisi Republik di wilayah itu.”
Harim menambahi, “Gue yakin lu juga pasti juga udah tahu … gak kayak Polisi Republik, Kepolisian Khusus punya lebih sedikit personel, mereka terbagi-bagi di markas yang cuma ada beberapa.”
Bana mengangguk kecil. “Iya, saya pernah dengar sedikit tentang itu.”
“Intinya,” kata Harim “itulah yang sebenarnya terjadi ketika gue bekerja sama dengan Polisi Republik. Yah, kadang-kadang gue juga bakal panggil anggota Kepolisian Khusus … kalo masalah yang perlu dihadapi adalah isu sensitif, terkait buronan sialan itu.”
Bana agaknya sedikit terkejut. Dia memandang Harim cukup lama, mengira dan menimbang-nimbang beberapa hal, sebelum akhirnya buka suara kembali, “Jelasin hal kayak gini ke saya … gak apa-apakah, Letkol Harim?”
Harim justru tertawa. “Lu ngeremehin gue? Atau ngeremehin bos lu sendiri? Kalo bocorin informasi kayak gini aja dianggap penting, gue gak bakal butuh waktu sampai selama ini buat ngejar-ngejar orang sialan itu.”
Bana terdiam, sedikit menunduk dan mengalihkan pandangan ke bawah. Harim memang sosok yang diidolakan, tetapi berada di dekatnya—terlebih ketika Bana juga begitu erat di sisi Jati—membuatnya merasa bimbang akan sesuatu yang sulit dijelaskan.
“Orang itu mah gak usah dikhawatirin,” ujar Harim setengah heran. “Sekarang lu adalah asisten gue dan suka buat melakukan, kan? Ini kesempatan langka, gak bisa didapati tiap hari, lho. Jadi, lu lebih baik bersenang-senang, fokus dengan apa yang ada di hadapan lu.”
Perlahan, senyuman Bana mengembang kembali. “Benar juga.” Dia memandang sekitar, merasa gembira berada di tengah-tengah para personel polisi berseragam hitam yang bekerja. “Oh ya, tadi Anda juga sempat nyebut Divisi A dan E. Emang, di Kepolisian Khusus ada berapa divisi?”
Terdiam sejenak, fokus pandangan Harim sedikit berkurang lantaran sibuk menghitung di kepala. “Untuk sekarang, kami punya—”
“Letkol Harim …,” seorang lelaki datang dari kejauhan, suara malasnya sedikit lebih lantang daripada Sidden dan masih memiliki intonasi naik-turun—meski hanya dari nada dasar ke rendah, tetapi justru menjadi terdengar jauh makin menyebalkan. Bahkan dari paras saja, terlihat persis seperti orang tak memiliki motivasi hidup yang gemar mengeluh dan mengomel, serta berbuat segala hal sesuka sendiri.
Dia dua tahun lebih tua daripada Sidden, berseragam sama persis, termasuk beragam badge yang terpasang. Hanya ada salah satu yang berbeda, itu pun sekadar pada tulisan huruf di sana.
“Kami menemukan penjual makanan yang diduga pakai terlalu banyak MSG, lho. Gue udah negur, tapi orangnya mengelak.” Dia menarik napas cukup lama, menghembuskan panjang perlahan hingga benar-benar habis, lalu asal bicara, “Urusin dong.”
“Ogah!” Harim seketika memekik geram, sudah mau mengamuk saja. “Lu pikir buat apa gue panggil divisi lu kemari? Balik! Tegur lagi! Yang tegas sana!”
Lelaki itu menghela napas, kentara sekali. Lalu berbalik dan berjalan malas, “Iya, iya ….”
Bana memandangnya. “Itu ….”
“Gak usah dipikirin, cuma orang ngeselin! Dia punya skor sangat baik di segala aspek, kecuali gaya ngomong.” Harim melanjutkan langkah, masih sambil mengawasi pekerjaan para anak buah. Kemudian, tanpa sengaja mendapati seseorang yang menarik, dia menyenggol pundaknya kasar, “Jangan ngelamun! Lu bisa-bisa ketabrak atau diculik makhluk aneh pecinta jomlo abadi.”
Tersentak dan nyaris tersungkur, Jati buru-buru berdiri tegak kembali. Lantas melirik tajam letkol itu sambil berdecak kesal.
“Jati!” Dari kejauhan, Haw berlari menuju pria muda itu sambil sibuk memegangi plastik berisi ikan maupun jas yang menggantung di pundak agar tak jatuh. Sesaat setelah senyumnya mengembang kian lebar lantaran sudah cukup dekat, dia justru terkejut setengah mati dan spontan berteriak tak jelas.
Pasalnya, anjing polisi yang sejak tadi mengekor Harim, tiba-tiba menggonggong kencang dan agak menekuk dua kaki depan sambil menatap tajam pada gadis itu, seperti hendak melompat dan menerkam.
“Berhenti!” Harim langsung menyeru tegas, cukup mengerikan. “Bersiap! Anak itu bukan ancaman.”
Haw tersentak mendapati hewan itu seketika tenang kembali. Dia lantas mendekat dengan langkah kecil beberapa kali. Mengangkat tangan, lalu menurunkannya di depan anjing itu. “Duduk.”
Hewan itu tak merespons.
Mengerutkan alis geram sambil cemberut, Haw lebih tegas—walau justru terdengar lucu lantaran suaranya masih agak cempreng, “Duduk!”
Hewan itu belum juga menanggapi.
Menggerutu makin kesal, Haw lantas berteriak sekuat tenaga, “Duduk!”
Seketika, anjing itu maju dengan cepat—menghentak—sambil menggonggong kencang sehingga Haw sangat tersentak, bahkan spontan melangkah mundur beberapa kali dengan tubuh gemetaran. Cekatan, Harim menarik tali yang terhubung ke kalung hewan tersebut agar tak mengejar ataupun menyerang tiba-tiba. “Berhenti!” dia memberi perintah makin tegas.
Harim menghela napas. “Gak usah coba-coba, german shepherd ini cuma nurut sama gue.”
“Eh …,” seseorang berlagak tak percaya, si lelaki yang datang dari kejauhan menghampirinya. “Gitu, ya. Seriusan, Bang Harim?” Dia bukan terdengar seperti penasaran, melainkan malah makin meremehkan.
Harim sekadar melirik Sidden sinis, lantas berkomentar, “Ke mana jas lu?”
“Dirampas kucing liar yang lagi berburu ikan.” Tatapan Sidden bergeser ke satu-satunya gadis di sana, dengan sorot tajam.
Haw spontan mengomel, "Apa kata lu? Tadi lu sendiri, ya yang ngasihin jas itu ke gue!"