Tuan Lori

Adinda Amalia
Chapter #58

57: Hari Ini 03.18 Kurir Sedang Menyeberangi Rawa-Rawa


“Bana dapat satu. Gue dapat satu, tapi baju gue kemarin lu rebut. Jadi kita cuma impas, ‘kan? Lu harusnya beliin gue satu lagi.”

Di ujung pintu lebar toko, Jati meletakkan sebelah tangan di pinggang. “Satu aja udah cukup, tahu.”

“Enggak cukup! Udah gitu, lihat ini!” Haw merentangkan dua tangan dan mengayun-ayunkannya. “Kebesaran, tahu!”

“Emang kenapa kalo kebesaran? Kan biar bisa dipake sampe lama.”

Bana yang sejak tadi berada di tepi deretan pakaian toko yang digantung, tak jauh dari mereka, mengangkat alis sambil memaksa senyum kecil. “Bang Jati, omongan lu terdengar kayak para ibu.”

“Lagian apa-apaan sama baju yang lain. Kecil, minim, kayak kekurangan bahan aja, tapi malah lebih mahal!”

“Itu style, tahu! Style!” Haw makin kencang mengomel.

“Gue gak peduli!” Jati asal menarik ke atas leher kaos yang dikenakan Haw sehingga gadis itu terpaksa melepaskannya, kemudian dibawa ke kasir. “Jadinya dua, sama yang tadi.”

Haw menggerutu dengan suara lebih lirih dan tak berteriak seperti barusan, tetapi dia jauh lebih kesal, “Apa-apaan sih? Padahal lu bukan ayah gue.”

“Baik, tunggu sebentar.” Lelaki petugas kasir sibuk memproses pesanan.

“Apa yang dibutuhin buat acara lusa? Kemeja hitam?”

Perhatian Jati tiba-tiba direbut begitu saja. Dua gadis muda, agaknya mahasiswi, membawa ransel lucu ukuran sedang di pundak sambil menenteng beberapa buku, sibuk menyibak deretan pakaian digantung.

“Bener. Oh, ya, bagian lu gimana, udah beres?”

“Beres dong. Cepet, ‘kan?” Salah seorang gadis tersenyum bangga, kemudian terkekeh. “Tapi gue capek banget. Bukan masalah sih, toh jadi bisa istirahat sebelum ngerjain lainnya.”

Seruan pelan, tetapi cukup tegas Bana, kemudian ganti merebut perhatian Jati. “Jangan kasar gitu. Diam dulu, diam dulu.”

"Kan ada serangga yang hinggap di rambut gue barusan!"

“Iya, iya ....” Bana beranjak ke belakang gadis itu serta menahan tangannya agar berhenti meraih surai. “Gue yang bakal cariin. Lu diam aja dulu. Lagian, kalau kasar gitu, yang ada serangganya malah mati kejepit, jadi tambah masalah.”

Haw menjadi terdiam. Menunggu sambil mengedipkan mata beberapa kali, selagi pemuda itu dengan teliti menyibak helai-helai surainya perlahan. “Masih lama?”

“Tunggu bentar ....”

Lelaki di balik kasir menyodorkan kantung plastik berisi belanjaan. “Berikut totalnya.”

Jati menyelesaikan pembayaran dengan cepat, kemudian menghampiri Haw yang mengomel makin tak sabar. Sementara Bana sungguh tabah, mengabaikan ocehan hingga akhirnya berhasil menangkap dan membuang serangga dari surai gadis itu.

Dari gusar, seketika gadis itu sumringah kembali.

Tiba-tiba saja, Jati menepuk dan membiarkan tangannya berada di puncak kepala Haw, menatap lekat nan mendalam. Selama ini, dia selalu menganggapnya bocah—lebih lagi dengan sifat kekanakan itu—tanpa memikirkan apa pun.

Tiba-tiba saat ini, dalam benak Jati melintas sesuatu. Bila kelak Haw telah tumbuh menjadi gadis yang telah mandiri dan tak bergantung lagi padanya, kira-kira dia harus bagaimana?

Lihat selengkapnya