Kantor Pusat T-Grandis Express, tulisan itu terpampang jelas di salah satu bangunan terbesar di Purwokerto. Lalu-lalang truk besar datang untuk menurunkan paket, kemudian pergi lagi, tiada habis. Belum lagi, deretan Fero maupun sepeda motor terus bergantian mengangkat kotak-kotak itu untuk diantarkan.
Haw menggebrak meja, bunyinya menggema di ruangan tiga meter yang tertutup dan hanya berisi dua orang. “Gue bilang, kita harus pergi!”
Bana mengangkat kepala yang semula asal diletakkan di atas meja. “Gue ngerti, tapi ke mana?”
Gadis itu menghela napas, berusaha menenangkan diri, tetapi agaknya tetap saja masih gelisah dan khawatir. “Kita harus buru-buru nyamperin Jati dan bawa dia pulang!”
Bana memegang kepala erat. “Bang Jati kemungkinan ada di Polres Indramayu, lagian dia tadi juga pergi sama Kapten Sidden. Tapi gue belum terlalu yakin sih. Lagian, kalo emang bener, gimana caranya kita bisa ke sana? Kalo mereka punya seseorang semacam Bang Jati di gedung itu, penjagaan pasti diperketat banget.”
“Kalian tenang aja dulu.” Pintu terbuka perlahan, Rawi berdiri di ambangnya sambil tersenyum ramah seperti biasa. “Jati cuma pergi bentar buat ngurus Fero yang kemarin nabrak alun-alun. Tunggu aja, bentar lagi juga pasti kembali.”
“Gak mungkin!” Haw langsung berteriak, kemudian melirihkan suara habis-habisan, “Jati ...,” gadis itu menunduk, “Jati bukan pergi karena keinginan sendiri, pasti terjadi sesuatu.”
Bana berbicara serius dengan sopan, “Kami bukan anak kecil, bujukan kayak gitu gak bakal bisa buat bohongin.” Kemudian memandang pria itu kian lekat, “Lagian, sebenernya Om Rawi sendiri pasti ngerti, ‘kan ...,” dia membahas Jati yang berurusan dengan polisi.
Rawi tiba-tiba berujar lirih, menjadi sangat emosional, “Justru karena saya tahu.” Dia membuat Bana tersentak dan seketika diam. “Saya pengen kalian tetap di sini dan gak melakukan apa pun. Lagian, saya yakin Jati pasti menginginkan hal itu.”
Di luar, seseorang berdiri di balik dinding. Dia mendengar semua, tahu bahwa dua bocah seumurannya di sana menjadi sangat murung yang sama sekali tak seperti biasa, dan itu membuat berat hati. Namun, kemudian tetap beranjak memasuki ruangan juga.
Berhenti di pintu, tak jauh dari Rawi, dia melemparkan dua amplop beserta beberapa lembar uang yang diikat kertas—meski tak setebal itu. Perhatian ketiga orang di sana seketika tertuju padanya, hanya membuat makin sulit untuk tetap berada di sini, tetapi dia berusaha menyembunyikan perasaan itu.
“Itu dari Hang,” dia berujar malas dengan agak ketus seperti biasa, seolah tak terjadi apa pun.