Masih berada di lantai tiga, Jati diminta berpindah ke ruangan lain. Tak jauh berbeda, sekadar satu meja dan dua kursi diletakkan. Namun, masih lebih baik dengan lampu menyala terang. Si letkol seharusnya ada di sini pula, tetapi dia belum terlihat.
Jati asal menoleh ke jendela kaca—terkunci, tetapi gorden yang menutupnya terbuka setengah—yang kebetulan berada tepat di sebelah tempat duduk. Belum ada dua puluh empat jam sejak terakhir kali menginjakkan kaki di Fero, tetapi seolah sudah terasa sangat lama tidak melajukan kendaraan itu.
Jati rasa, dia merindukan aroma khas angin jalanan bercampur hembusan AC dari dalam kabin Fero. Tidak, mungkin lebih tepatnya, dua orang di kursi tengah dan pinggir kiri itulah yang saat ini ingin ditemui.
Memikirkan itu, membuat Jati kian tak ragu untuk berada di sini. Senyuman tipisnya mengembang begitu saja. “Gue bersyukur masih sempet ketemu mereka. Ngelihat para bocah itu gak apa-apa, bikin seneng banget.”
Bunyi khas pintu dibuka, terdengar pelan. Langkah kaki bersahut-sahutan berangsur kencang hingga kemudian berhenti. Harim menarik kursi di hadapan Jati, bersiap duduk. “Ini waktunya, katakan ke gue.”
Jati akhirnya mengalihkan pandangan dari jendela menuju letkol itu, senyuman tipis yang miris itu dibiarkan mengembang, meski dengan maksud yang sudah lain lagi. Dia benar-benar telah siap dan tanpa berat hati sedikit pun untuk bicara.
Bagian dalam Kantor Pusat T-Grandis Express Purwokerto berbanding terbalik dengan riuh ricuh di halaman depan. Mengambil makanan dari kantin, Rawi membawanya menuju meja khusus—tempat yang dia dan petinggi lain gunakan—terpisah dari para karyawan.
Sebelum piring berisi makanan penuh itu mendarat di meja, Haw sudah menyadari ada yang kurang. Dia beranjak untuk mengambil dua sendok. Kemudian, saat kembali, dia terkejut karena Rawi tiba-tiba sudah membawa seporsi lagi.
Gadis itu spontan menghela napas berat, baru sadar bahwa dirinya benar-benar terbawa kebiasaan ketika bersama Jati. Sementara Rawi yang masih berdiri di sebelah salah satu sisi meja, tertawa kecil akan tingkahnya barusan.
Bana datang, langsung ikut duduk di sebelah Haw sambil mengangguk kecil pada pria itu, “Makasih, Om.”
Bana tampak ogah-ogahan untuk menyantap hidangan itu, tetapi kemudian tetap meraih sendok dengan memaksa diri. Lebih lagi gadis di sebelahnya, cukup lama hanya menatap piring lebih dulu, lalu baru mengambil potongan lauk, itu pun sangat kecil.
“Oh, ya, Haui, Banas ... habis ini, boleh minta tolong ngerawat kebun di atap kantor?”
Keduanya kompak terheran seketika. Satu suapan nasi baru saja hendak diangkat, diletakkan kembali, terlampau tak paham akan apa yang barusan di dengar. Mereka masih terus menatap lekat Rawi tanpa mengatakan apa pun.
Entah mengapa merasa terserang oleh tatapan mereka padanya, Rawi lantas buru-buru menjelaskan, “Saya ini om-om yang hobi berkebun, tahu. Makanya saya pengen ada kebun di atap gedung. Ya?”