Melewati pintu depan Kantor Pusat T-Grandis Express Purwokerto yang terbuka otomatis, Haw berjalan meninggalkan gedung itu sambil dengan semangat memeriksa selembar kertas. “Paketnya kecil-kecil semua, ngepres sama batas minimal TGE Trucking. Bakal mampir ke banyak tempat ini.”
Beberapa meter di depan, Bana sudah melangkah mendahului. Dia memegang kunci, ikut mengangkatnya saat meregangkan tubuh sebelum harus duduk di kabin Fero berjam-jam. Dia lantas memperbaiki kacamata. “Sip! Cukup teliti buat nyetir di jalan raya malam hari.”
Ikut mengantar mereka, Rawi kemudian justru berhenti beberapa meter usai keluar dari pintu gedung, memandang bocah-bocah tersebut yang mendadak terlihat dari sebelumnya—menikmati dan lebih menjadi diri sendiri. Dia sangat senang melihat itu. Meski tanpa Jati, mereka tetap akan baik-baik saja.
Rawi tersenyum tipis begitu saja. “Jati, mereka emang mirip kamu, tapi mereka ternyata jauh lebih kuat dari kamu.” Pria muda itu, tiba-tiba menjadi si remaja lelaki keras kepala lagi dalam angannya. “Kamu udah jagain mereka dengan baik, Nak.”
Suara khas pintu Fero dibuka, terdengar dua kali. Haw membuka sisi kiri dan Bana sebaliknya, hampir bersamaan. Namun, sesaat kemudian, bocah-bocah itu terdiam. Satu orang lagi seharusnya ada di sini, si menyebalkan yang pemalas dan suka asal suruh.
Dia akan menggerutu sepanjang perjalanan, bertengkar tiada habis, dan selalu saja membuat geram. Sekalipun dia membawa bocah-bocah itu terlepas dari kesendirian dan memberi tempat pulang untuk mereka, tetapi pria muda itu pada akhirnya hanya seseorang menjadi sumber amarah yang membuat Haw dan Bana susah tiap hari.
Tidak adanya orang itu mungkin akan membuat suasana menjadi lebih tenang, tetapi kabin sudah dapat diperkirakan untuk hanya diisi dua orang saja setelah ini, justru terasa aneh. Mereka tak bisa menginjakkan kaki naik.
Dari kejauhan, senyuman Rawi dengan cepat luntur. Dia tertegun. “Ada apa, Haui, Banas?”
Tak seorang pun ingin menjawab pertanyaan Rawi. Mereka seharusnya tak membuat pria itu terheran dengan tingkah seperti ini. Haw dan Bana perlu memasuki kabin dan segera mengirimkan paket sekarang juga. Namun, mau berusaha seberapa keras, bahkan sampai sekian kali, tetap saja nihil.
Jemari Bana yang berpegang erat pada pinggiran pintu, bersiap untuk naik ke kursi kemudi, kini melonggar. “Om Rawi, kayaknya kami gak bisa.”
Sementara gadis di seberangnya, bahkan tak mengatakan apa pun.
Sepetak kabin kosong itu hanya berakhir menjadi ruang aneh, menyuguhi sesuatu yang familiar, tetapi menumpahkan pula keasingan yang menyesakkan. Mereka rasanya memang tak bisa kembali ke kehidupan seperti biasa lantaran Jati tak ada di sini.
Rawi agak mengerutkan alis. “Kenapa? Dulu kan kalian bisa kerja, walau berdua saja. Sekarang juga pasti bisa, dong.”
“Enggak bisa,” Bana berujar cepat nyaris menyela, masih bernada sopan, meski cukup dingin. “Dulu Bang Jati ada di sisi kami, meski terpisah pun, saya yakin dia pasti mengawasi kami. Tapi sekarang beda.”
Mereka masing-masing meraih ujung pintu kanan kiri Fero, kemudian mendorongnya agar tertutup dan menimbulkan bunyi khas menggema, bersamaan. Haw lebih lagi, jemari yang masih merasakan sisa sensasi dingin kendaraan itu, hanya wajahnya yang menunduk, tak terlalu terlihat oleh cahaya oranye yang kian pekat, dan tertutup sebagian surai, tampak kian suram.
Bana memandang kosong pintu kabin yang tertutup. “Saya benar-benar gak bisa, bahkan kalo Om Rawi maksa dan mengancam melarang kami tetap di sini, saya bakal milih buat pergi.”
Keduanya melangkah menghampiri Rawi, kemudian mengembalikan selembar kertas data rekap paket dan kontak Fero. Bana tak memandang mata pria itu, sedikit menggeser tatapan ke bawah. “Perkiraan saya salah, ternyata kami gak bisa membantu kali ini.”
Haw menunduk kecil sesaat. “Mohon maaf.” Lantas berlalu dari pria itu, seperti si pemuda yang sudah melangkah lebih dulu.
Satu dua lampu di lorong lantai empat dibiarkan menyala, meski hanya cukup untuk memberi remang-remang di tengah seluruh jendela yang tertutup. Ruangan berjajar, hampir seluruhnya kosong dan gelap.
Hanya saja, ada satu ruangan yang berbeda. Memang sama-sama tiada apa pun di dalamnya, tetapi sisi dinding yang bersentuhan dengan lorong, dibuat dari kaca sehingga orang di luar maupun di dalam dapat saling melihat dan berkomunikasi.
Jati berdiri menyandarnya ujung dinding samping—yang biasa—tepat bersebelahan dengan kaca. Dia merasakan seseorang datang, derap kaki terdengar jelas lantaran tiada orang lain lagi di lantai empat selain dirinya, tetapi tak peduli.