Tuan Lori

Adinda Amalia
Chapter #64

63: Sisa-sisa Waktu dan Isyarat Tak Terduga

Salah satu dari empat sisi dinding, memperlihatkan jelas seorang lelaki berseragam berlalu di lorong. Kemudian berhenti tepat lurus dengan tengah-tengah ruangan, melirik sinis pria muda yang masih belum juga beranjak dari sudut tempat itu.

“Kelemahan lu sekarang melebar, ya.” Haw dan Bana menjadi celah yang sangat besar bagi Jati, dia pasti akan melakukan apa pun bila berurusan dengan kepentingan dua bocah itu. Setelah bertahun-tahun selalu lari sambil menutup mulut, sekarang Jati malah tiba-tiba datang seperti kucing jalanan mengemis sisa makanan. “Lu berubah.”

“Lu gak berubah, Hiddie.” Jati enggan menatap lelaki itu. “Gue selalu jijik lihat wajah lu itu.”

“Gue juga muak lihat lu,” Harim ikut kesal, setelah sebelumnya serius.

“Lu masih jadi stalker gue aja? Sekarang lu udah mendapatkan gue, cukup, ‘kan?”

Harim menyipitkan mata. “Jangan pakai kata-kata yang aneh!” Dia menghela napas kasar. “Lagian, lu sekarang ada di kantor polisi, lho! Gak panik, apa?”

Jati berdecak malas. “Ngomong apa sih lu, Hiddie? Sok tahu.”

“Jadi, apa? Lu sebenarnya panik?”

Jati langsung menatap Harim dengan sangat aneh. “Apa? Menurut lu, gue kelihatan panik?”

Harim berdecak kesal. “Lagian, ini udah hampir dua belas jam dan lu sama sekali belum berpindah dari pojokan ruang. Gak mau ngapain, gitu?”

Jati memicing keheranan. “Kok … lu maksa sih?” Dia menatap Harim sinis, lalu membuang pandangan kembali. Sesaat setelah itu pula, garis wajahnya berubah. Kentara sekali bahwa dia ingin Harim segera pergi—atau lebih tepatnya mengakhiri pembicaraan yang mengarah ke topik yang sangat tak disukainya.

Sejenak, Harim terdiam. Lantas agak menoleh sehingga kini menatap pria muda itu cukup lekat. Bicaranya berubah, “Apa-apaan tingkah lu itu? Seingat gue, Karunanidhi bukan orang yang gampang nyerah dan nurut sama keadaan kayak gini.” Dia sok tersentak kecil. “Oh, kayaknya orang itu udah gak ada di sini. Mungkin dia gak bisa lolos dari hukuman matinya, kali, ya ….” 

Harim terdengar kian meledek, “Eh, apa? Lu itu Karunanidhi? Mana mungkin. Gue rasa, orang yang ada di sini cuma raga kosong yang berpura-pura menjadi Karunanidhi—enggak, dia bahkan cuma sok mengakui nama itu, tapi juga menyangkal. Gak lain, cuma orang aneh.”

Jati sungguh muak mendengarnya, dia bahkan sudah membayangkan untuk menghajar Harim melalui dinding kaca yang dipecahkan menggunakan satu pukulan. Namun, itu bertahan dalam angan belaka. Jati bahkan tak membiarkan jemarinya mengepal untuk sekadar menunjukkan ekspresi tersebut, karena dia sendiri sebenarnya tahu, bahwa omongan Harim memang benar.

“Tolong gak usah repot-repot bertutur panjang lebar kayak gitu, Letnan Kolonel Harimmurdhi.” Jati sesungguhnya sungguh merasa buruk atas diri sendiri usai mendengar tuturan Harim, tetapi dia kemudian sok ketus seperti biasa, “Gue jadi makin jijik lihatnya.”

Sesaat, Harim masih terdiam, kemudian menggeser tubuh agar menghadap lorong dan melangkah ke ujung dinding kaca itu. “Gue bukan melakukan itu buat lu.” 

Jati tersentak, tetapi dia berusaha sebisa mungkin untuk tak menunjukkannya.

Harim berhenti di dekat pintu ruangan. “Masih ada sisa waktu sebelum gue mengakhiri semua. Lakukan sesuka lu. Denger?”

Semula masih membuang muka, Jati seketika menatapnya sambil tertegun. 

Harim berujar ketus, “Cepet! Sebelum gue berubah pikiran.”


Beberapa saat lalu, setidaknya wajah gadis itu masih bisa dipandang, walau datar tanpa sisi menarik sedikit pun. Namun, saat itu Haw malah dibuat cemberut, menggerutu kesal dan muak—meski sesungguhnya tidak benar-benar marah. “Kenapa lu ada di sini?”

Bana duduk menyandar kursi kabin sebelah kiri, bersedekap sambil memejamkan mata. “Lu sendiri kenapa di sini?”

Haw berada di kursi tengah kabin, melingkarkan dua tangan untuk memeluk lutut yang terangkat sehingga agak membungkuk. Dia asal menoleh kanan, membuang muka dari pemuda itu. Lantas berdecak kesal.

Dari pintu laci di bawah dasbor yang terbuka sedikit, topi lucu milik gadis itu tampak mencuat keluar sebagian. Fero ini yang terakhir kali mereka gunakan. Entah apa yang ada di pikiran Rawi, membiarkannya tetap kosong dan tak dioperasikan sama sekali, padahal terparkir bersama kendaraan serupa lain yang selalu keluar masuk gedung tiap hari untuk pengantaran paket.

Bana mencibir, “Bukannya kemarin lu bilang gak mau kerja?”

Haw kian menggerutu, agak sinis, “Lu sendiri bilang apa ke Om Rawi kemarin?”

Terdiam sejenak, Bana lantas berujar lirih, “Cerewet lu.”

“Itu mah elu yang biasanya cerewet,” Haw ikut sewot, meski tak terlalu.

“Siapa coba yang bikin gue cerewet?”

Haw makin cemberut, “Gue sih ....”

Si pemuda di sebelah, tak kunjung merespons. Kian lama hening menguasai sepetak kabin itu, makin kuat terasa suasana yang dengan drastis berubah. “Masih ada satu orang lagi.”

Lihat selengkapnya