Jati menoleh ke dua bocah di samping. “Kita perlu ngantar ke alamat mana lagi?”
Haw sekadar mengedipkan mata, menanti jawaban Bana yang lebih paham mengenai rute pengiriman mereka. Pemuda tersebut memang memeriksa kertas di dasbor dan sudah hendak mengatakan sesuatu, tetapi dia tiba-tiba menutup mulut dan meletakkan lembaran itu kembali sebelum menatap Jati. “Oh, ya ... kalo sekarang mau nganterin paket ke penerima, kenapa kapan hari lalu Bang Jati gak menemui Mbak Meisie?”
Pandangan Jati yang semula mengarah pada dua bocah di kursi kabin, bertahan selama beberapa detik. Lebih tepatnya, dia mematung. Saat waktu terasa hendak ikut membeku, dia tiba-tiba menatap depan dan sibuk menyiapkan kemudi—seolah barusan Bana tak mengatakan apa pun.
“Bang Jati,” Bana menggertak, “jangan-jangan lu ....” Bicaranya melirih, seiring mata memicing curiga.
Jati buru-buru menyahut kencang, “Itu karena si Hiddie udah janji buat gak melibatkan siapa pun lagi!” Kemudian, suaranya menjadi melirih, “Makanya sekarang gue gak ragu buat menemui orang lain.”
Haw dan Bana kompak tertegun. Menyinggung tentang hubungan Jati dan Kepolisian Khusus, agaknya seperti menabur garam di atas luka yang belum sembuh, bagi mereka. Dua bocah yang semula tampak hendak menggoda dengan jahil dan mengomel habis-habisan, kini menjadi diam tanpa ingin buka suara sedikit pun.
“Yang penting," kata Jati tiba-tiba, berusaha mencairkan suasana, "kita harus buru-buru nganterin paket lagi! Apa-apaan kalian ini?” Dia sok marah, “Dulu bilang pengen kerja di TGE, tapi sekarang kok kerjanya malah gak bener? Kalian ini hitungannya masih magang, lho. Kalo gini terus, yang ada gue pecat sebelum kalian jadi karyawan tetap, lho. Blacklist, lho! Mau?”
Haw langsung cemberut dan mengerutkan alis. “Gue kerjanya bener, kok.”
Bana menggerutu sambil menghela napas, “Iya, iya ....” Dia menggeser pandangan, lantas bergumam, “Mentang-mentang sekarang kami udah tahu kalo situ pemiliknya TGE, makin asal omong sekarang.”
Jati mendadak menyeru tegas, “Bana, ngomong apa?”
Pemuda yang dimaksudnya langsung menoleh kiri keluar jendela truk, dengan agak panik. “Bukan apa-apa!”
Lirikan Jati yang belum kunjung beralih dari Bana, membuat pemuda itu makin keringat dingin. Namun, dia lantas kembali menatap depan seiring tangannya bergerak menggeser tuas persneling. Sayangnya, hingga pedal kopling dilepas, bahkan gas diinjak, truk belum juga bergerak.
"Kenapa?" Wajah bulat polos Haw spontan terpaku pada Jati, dengan cepat gadis itu menyadari ada yang tidak beres.
Wajah berubah masam drastis, Jati menggerutu dan berdecak kesal. Dia menarik pegangan pintu truk bagian dalam dengan agak kasar, lantas beranjak turun tanpa mengatakan apa pun—toh wajahnya telah menjelaskan segalanya.
Tersisa Haw dan Bana, keduanya saling pandang sebentar, kemudian sibuk sendiri-sendiri. Haw tak terlalu peduli dan asik memandang keluar dari kaca depan truk. Sementara Bana mengamati sekeliling sambil memikirkan kira-kira apa yang terjadi—
Bunyi benda-benda keras bertubrukan menggema kencang, tepat sebelum semua menjadi hening. Gravitasi yang semula bekerja normal, tiba-tiba merasa miring. Berpegangan pada pinggiran jendela truk yang terbuka untuk menjaga tubuhnya yang sudah beberapa kali hendak merosot, Bana tersenyum miring. "Emm, maaf ... kalo mau jungkirin kabin, bisa bilang-bilang dulu gak, ya?"
Masih mending Bana mengenakan sabuk pengaman dan melintang dari pundak hingga pinggang. Haw yang berada di kursi tengah, sekadar mengenakan safety belts di perut sehingga tubuh gadis itu masih terhempas dan kepalanya membentur dasbor. “Sialan ….”
"Oh, gue lupa kalo sekarang gak sendirian."
Jati mengembalikan posisi kabin seperti semula, menunggu dua bocah itu turun, sebelum sekali lagi menjungkirkan kepala truk. Dia menggerutu mendengarkan omelan Bana, sambil menahan pukulan Haw padanya.
Haw mendengus kesal, lantas berlalu dari Jati.
Pria muda itu sekadar melirik gadis itu sesaat. “Iya, iya, gue minta maaf,” ujarnya tanpa rasa bersalah sama sekali—dalam artian candaan. Dia sibuk memeriksa mesin di balik kepala truk sambil menggulung kedua lengan kemeja.
Bana mendekat, ikut mengamati. “Ada masalah serius?”
Jati menghela napas. “Kayaknya enggak, tapi gue perlu teliti nyari bagian yang kurang bener. Ribet …,” ujarnya lesu.
Sementara Haw duduk menyila di trotoar tak jauh dari Fero, memangku topi lucunya, sambil mendongak dengan sepasang mata polos menatap dua lelaki itu tanpa paham apa yang mereka bicarakan.