Tuan Lori

Adinda Amalia
Chapter #66

65: Batas Terakhir yang Diperjuangkan

Langit mulai tergores jingga senja, meniup pergi terik siang menyengat kulit. Kecepatan meninggi tanda sang pengemudi tak membutuhkan kehati-hatian lebih untuk mendengarkan arahan jalan. Fero melaju cukup jauh dari alamat paket terakhir, sampai tiba-tiba menepi. “Gue mau istirahat bentar.”

Jati asal turun dari kabin Fero.

Haw dan Bana yang telah sejak tadi melonggarkan kewaspadaan, bahkan duduk dengan posisi asal selama itu membuat mereka nyaman maksimal di perjalanan yang sudah tanpa tanggungan pekerjaan—setidaknya bagi mereka, sekadar menatap pria itu muda yang tiba-tiba telah menghilang, tanpa sempat menanyakan apa pun.

Menghela tubuh dari sandaran kursi, Haw melepas topi lucu di kepalanya yang saat ini terasa kurang nyaman bila dikombinasikan dengan posisi duduk malas, lantas hendak mengembalikannya ke laci. Namun, sesaat setelah membuka pintu kecil di bawah dasbor, dia malah terkejut lantaran Buku Kinantan tiba-tiba jatuh—posisi sebelumnya memang menyandar pintu laci. 

Bana buru-buru dan gelagapan mengulurkan tangan, berusaha menangkap, tetapi meleset sehingga buku itu tetap jatuh dan kebetulan dengan posisi terbuka di sekian halaman dari sampul belakang.

Menghela napas lirih, Bana membungkuk guna meraih Buku Kinantan. Tepat saat jari hendak menyentuh kertas, matanya terbelalak. Hanya dalam satu kilatan, pemuda itu merasa gadis di sebelahnya tiba-tiba mengerikan, Haw pasti sangat tercekat, dan tiba-tiba telah menyambar buku tersebut lebih dulu.

Beberapa halaman belakang kosong. Gadis itu cekatan membalik sekian lembar, menimbulkan bunyi yang kencang berkali-kali, menuju bagian lebih ke tengah. Hingga akhirnya dia berhenti, saat menemukan tulisan terakhir di sana.

Jatuh. 

“Sialan!” Gadis itu meletakkan Buku Kinantan di kursi dengan kasar, bersamaan dia melompat ke balik kemudi dan turun melalui pintu truk sebelah kanan.

“Haw!” Bana melihat gadis itu tiba-tiba telah menghilang, hanya bisa menghela napas.

Di sisi seberang dan cukup jauh dari tempat Fero menepi, Haw berhenti usai beranjak beberapa langkah dari jalanan beraspal. Rerumputan terhampar luas di area nyaris tanpa pemukiman.

Di depan Haw, juga pria muda yang kini berdiri membelakangi gadis itu, terdapat double track kereta api; tampak sepi tanpa satu pun lokomotif melintas, mengkilap dan memantulkan cahaya sore.

Haw memegang lengan Jati dari belakang.

Agak terkejut, Jati spontan agak melirik belakang. “Haw? Ada apa—”

“Jangan berbalik.”

Sejenak, Jati masih terdiam dengan agak melirik gadis itu, agaknya hendak menolak. Namun, pada akhirnya, dia perlahan memandang depan kembali.

“Kenapa lu berpura-pura seolah semua baik-baik aja?”

Hening. Jati tak menjawab.

“Gue gak pengen lu menunjukkan senyuman, kalo marah-marah gak jelas justru lebih kerasa kayak suasana biasanya. Tiap kali jatuh, gue udah sering mengandalkan lu. Kali ini, gak bisakah lu ganti mengandalkan gue?” 

Suara gadis itu kian lirih, “Lu bakal kembali, ‘kan … sama para polisi itu?”

Lihat selengkapnya