Menenggelamkan kepala di dua lutut yang diangkat ke atas, Haw murung tak henti. Bayang-bayang senyuman lebar Jati beberapa saat lalu dan lagak sok baik-baik saja yang menyebalkan, belum juga berhenti berputar di angan dan itu membuatnya tak tahan.
Mendengus gusar, gadis itu pada akhirnya beranjak dari kursi tengah kabin, meninggalkan sepetak ruang kosong. Haw tak tahu ke mana dia melangkah. Saat menyadari, dia sudah berhenti di tengah jembatan.
Terbuat dari balok kayu kokoh berwarna krem pastel, ditata sedemikian rupa membentuk lengkungan hampir setengah lingkaran. Pegangan di kanan kiri terbuat dari bahan serupa, dengan ukiran sederhana, tetapi elegan, serta dibalut pelitur mengkilap.
Haw menggerutu gusar sendiri. Agak membungkuk, melipat dua tangan pada pinggiran jembatan sambil memandang bawah. Sungai selebar empat meter membentang di bawah, mengalirkan air sangat jernih, memantulkan sempurna apa pun yang ada di atas, termasuk wajahnya—bahkan gadis itu merasa seolah-olah jiwanya ikut terproyeksi di sana; sesuatu yang sangat dalam, terlalu dalam, yang tak bisa dilihat dengan cara biasa.
Langkah kaki sayup menyelinap dari keheningan sekitar. Tipis, tetapi menempel lekat-lekat dalam telinga. Terdengar beberapa kali hingga akhirnya berhenti, beberapa saat sebelum pemuda di sebelah gadis itu berputar menghadap arah yang sama dengan Haw, hanya saja dia tak menunduk.
Pemuda itu muncul seperti senyuman badut malam hari yang semula cemberut. Kejutan. Namun, entah mengapa terlalu bisa dirasakan kedatangannya sehingga tak mengejutkan. “Sangat gak biasa, agaknya. Apa yang kira-kira Nona Kecil lakukan di sini?”
Pandangannya yang mengarah pada permukaan sungai, tak beralih. “Apa-apaan gaya bicara kayak gitu? Jijik.”
Pemuda itu tertawa kecil, terdengar ramah. “Kata-katamu nyakitin, lho.”
Bak lewat begitu saja, tak ada respons dari Haw—gadis itu juga tak terlihat tertarik.
“Aku bukan orang aneh, kok.”
“Itu kata-kata yang justru diucapin sama orang aneh!”
Hanya itu. Selanjutnya adalah keheningan; tak canggung, tetapi tidak juga menenangkan. Lantas dari beberapa momen sunyi itu, pemuda tersebut ikut meletakkan telapak tangan di pinggiran jembatan.
“Ini bukan tempat wisata—yah, walaupun memang indah sih, tapi sudah menyimpang dari jalan nasional dan di kanan kiri cuma ada pohon-pohon tinggi, lho. Yakin milih ke sini? Lama-lama, bahkan sendirian?” Pemuda itu langsung melanjutkan sebelum Haw sempat bicara, “Oh, bentar. Kayaknya kamu gak sendirian.” Dia tertawa kecil, sesaat, dan menyisakan senyum lebar, “Jangan hitung aku.”
Haw tersentak. Spontan menggeser fokus pandangan. Dua tangan yang berada di atas pinggiran jembatan, salah satunya ternyata membawa sebuah buku bersampul putih.
Gadis itu langsung berdecak kesal. Sangat muak harus melihat benda itu kembali, lebih lagi dia selalu saja terpikir apa yang tertulis di dalamnya. Mendengus, Haw lantas asal membuang muka ke sembarang arah. “Apa-apaan sih? Padahal gue pengen menenangkan diri bentar ….” Jemari yang membawa buku itu, menggenggam kian erat.
Pupil pemuda di sebelah bergeser, menjadi sebuah lirikan ke arah Buku Kinantan. “Nona Kecil sepertinya gak terlalu suka sama itu, ya …,” katanya masih dengan terdengar ramah. “Kalau segitunya benci, kenapa enggak dibuang ke sungai aja?”
Dengan posisi kepala masih agak menunduk, tatapan Haw bergeser ke atas dengan fokus jauh. Kalimat pemuda itu langsung berputar di pikiran. Lantas hanya dalam satu kedipan singkat, sebelah tangan gadis itu telah berada di udara, sedangkan Buku Kinantan melayang jatuh.
Haw melakukannya nyaris tanpa sadar.
Pemuda di sebelahnya yang melihat itu, mengembangkan senyuman—yang masih bertahan sejak tadi—menjadi makin tinggi.
Sejenak, Haw memutar otak dua kali. Dia baru menyadari bahwa barusan mendapatkan dorongan kuat tak masuk akal untuk melempar Buku Kinantan; kini sensasi itu telah hilang dan entah mengapa dia baru tersadar dan memikirkan daripada itu berasal.
Bunyi khas benda agak berat menyentuh permukaan air, mengambil alih perhatian Haw. Hembusan napas gadis itu menjadi lebih selaras dibandingkan sebelumnya. Sepasang mata menjadi sayu, memandang Buku Kinantan yang mengambang di atas sungai dengan posisi terbuka. Terseret arus air, perlahan, lembut, dan konstan, terbawa kembali ke arah jembatan.
Pemuda itu lagi-lagi tertawa tipis. “Nona kecil, kamu sungguh orang yang sederhana, ya.”
“Tentu,” katanya singkat. Surai panjang gadis itu menutupi sebagian wajah. Cahaya sore menyapu, menjadikan temaram dan nyaris gelap total di beberapa lekuk paras bulatnya. Dia tampak agak mengerikan. “Gue melakukan apa yang gue inginkan, melupakan yang gue benci.”
Pupil gadis itu kembali bergerak, menatap Buku Kinantan yang terus mendekat, seakan-akan kembali padanya. Saat dia menyadari, setangkai tanaman telah jatuh cukup dekat untuk mendarat di atas dua halaman terbuka itu.
Tangkai kecil yang bercabang menjadi tiga daun. Berwarna ungu bercorak kemerahan lantaran telah layu. Masing-masing menyerupai dua segitiga siku-siku saling berlawanan hadap yang menempel di sisi punggung. Lebih tepatnya lagi, mirip sebuah sayap. Daun bunga kupu-kupu.
Tatapan gadis itu akhirnya beralih ke atas kembali usai Buku Kinantan melintas di bawah jembatan dan menghilang dari pandangannya. Terus terbawa arus air, hingga perlahan menjauh.
"Itu milikmu?"
"Bukan."
"Oh, begitu …,” kata pemuda itu singkat. “Aku mungkin memang yang menyarankannya, tetapi aku juga ingin bertanya … apa kamu yakin akan hal yang kamu lakukan barusan, bakal disukai olehnya—sang pemilik buku?"
Haw terdiam. Jati mungkin akan memarahinya. Namun, dia juga tak tahan untuk diam saja. "Gue rasa."
Lirikan pemuda itu kembali, kali ini tertuju pada Haw. Kemudian, senyuman lebar dan ramahnya kembali. Sekilas dia terlihat ikut senang dengan tindakan itu. “Kurasa begitu pula. Aku juga ingin melihat reaksinya.”
Bunyi khas pintu truk tertutup, melintas di telinga dan diabaikan dengan mudah. Haw melompati bangku kemudi dan beranjak ke kursi tengah, tanpa peduli Bana yang sudah berada di kabin lebih dulu, menatapnya yang baru datang.