Si Serba Hitam adalah Jati.
Netra gadis itu yang bertemu tatapan si pria muda tampak letih, seolah akan luntur, meleleh, dan berceceran di tanah dengan menyedihkan.
Haw ingin menyangkal, tetapi makin dia memikirkannya, justru kian banyak menemukan kemiripan antara Jati dan Si Serba Hitam.
Tiap kali Jati marah, Haw selalu ketakutan; perasaan yang berlebihan apabila dibandingkan dengan ketika orang lain murka padanya. Gadis itu tumbuh dengan hantaman keras, dia tak akan mungkin dibuat gemetar kecuali oleh trauma terdalamnya—Si Serba Hitam.
Lantas, apa yang diinginkan orang ini dengan berada di dekatnya? Pertanyaan itu terus menggema pula di pikiran seiring lama Haw memandang pria muda itu.
Makin lama dia memikirkannya pula, rasanya dunia kian mengerikan, membisikkan ancaman-ancaman paling mencekam yang entah apa itu. Kegelapan seperti tentakel raksasa bangkit dari dasar bumi dan menggelayuti Haw.
Tidak.
Haw bukannya takut dengan apa yang sebenarnya direncanakan oleh Si Serba Hitam dengan berada di dekatnya, dia hanya tak ingin mengakui bahwa tatapan Jati saat ini juga sama hancurnya.
Haw hanya tak cukup terima untuk mengetahui bahwa Si Serba Hitam masih memiliki rasa bersalah usai apa yang dilakukannya; juga, kenyataan bahwa dia semula menaruh kepercayaan nyaris tanpa syarat pada Jati.
Jati.
Satu, dua, tiga kali nama itu melintas di pikiran, Haw makin tak ingin mendengarkan apa kata dunia.
Namun, pada akhirnya sedikit menghembuskan napas, dengan berat. Sekali pun Jati adalah seseorang yang melindunginya dari badai kesendirian dan mengajarkan cara tersenyum dengan sikap menyebalkannya, dia tetaplah Si Serba Hitam!
Haw tak peduli, sekali pun dia dengan sengaja mengurung rasa tak percaya di dasar sanubari, tanpa alasan logis.
Gadis itu menarik napas, bersiap bicara untuk—
"Lu!" Kerah pakaian gadis itu tiba-tiba ditarik. Pemuda yang semula berdiri agak jauh, kini sudah berada tepat di hadapannya. Haw sangat terkejut, tetapi dia cukup waspada untuk tak terlalu terkejut.
Jati langsung menggertak pelan, “Bana, bentar—”
Pria muda itu bungkam dengan sangat tercekat, sesuatu yang sangat mengejutkan untuk terjadi pada seseorang seperti Jati.
Barusan, Haw langsung menatap tajam dengan kekesalan yang sangat kentara, jauh daripada gaya sok kesalnya seperti biasa. Gadis itu seolah menekankan, dia sudah bukan bocahnya Jati lagi, dia akan menyelesaikan sendiri urusannya dengan Bana.
"Haui …," pemuda ini terlihat mengerikan, Haw tak mengenalnya.
Nalawang Gus. Ayahnya memiliki nama di negeri ini. Hanya itu yang dia ketahui, tidak dengan sisanya. Haw memang tak yakin apa yang benar-benar terjadi, tetapi dia juga tak memiliki alasan cukup kuat untuk memberi pembelaan.
Haw sangat terkejut mengetahui apa yang pernah dilakukan ayahnya. Namun, yang lebih mengguncang jiwa gadis itu saat ini adalah fakta bahwa pemuda di depannya terlihat akan mengamuk dengan sangat garang kapan saja, tetapi hal itu tak kunjung terjadi karena berkali-kali pula berusaha menahan diri.
Seribu umpatan dan ujaran kebencian sudah menderet di belakang lidah pemuda itu, bak gerbong lokomotif panjang dan berat. Namun, tak satu pun kunjung keluar. Selalu ada setitik kecil yang seolah-olah menahannya dengan sakit.
Haw mengira Bana akan menjadi orang asing setelah kegelapan terdalamnya ditarik keluar. Namun, ternyata dia masih orang sama yang dikenalnya.
Gadis itu hendak berucap, tepat saat lagi-lagi dia dikejutkan dan terpaksa mengurungkan niat. Bana mendadak melepaskan tangan darinya. “Jangan beraninya muncul di hadapan gue lagi.” Lantas beranjak pergi begitu saja.