Tuan Lori

Adinda Amalia
Chapter #69

68: Kediaman Besar yang Lebih Sunyi, Tengah Malam yang Terlalu Dingin

Kediaman keluarga Haui terasa kosong—sebagian besar perabotan memang tak ada. Kehampaan berbeda yang membingungkan indra peraba, tetapi dimengerti baik-baik oleh sanubari.

Kamar tidurnya di lantai dua lebih besar daripada yang dia ingat. Aroma khas pengharum ruangan pasti telah memudar karena hendak habis. Haw duduk di atas ranjang, memeluk dua lutut tertekuk dan menenggelamkan wajah di sana. Tempat ini terasa separuh asing.

Tidak. Bukan itu masalahnya. Dia sudah terbiasa untuk memaksakan diri tinggal di rumah besar yang tak bisa memberikan apa pun, selain keheningan yang perlahan-lahan mencekik.

Gadis itu membiarkan dirinya tetap menangis, meski sesungguhnya sudah bisa berhenti. Dia masih ingin tenggelam dalam lautan lara yang menyelimuti dengan ratapan tanpa arti. Dia masih belum selesai untuk merasa kecewa—atau mungkin ini memang tak ada habisnya.

Tatapan pria muda itu saat mereka berada di ambang pintu rumah, terbayang tiada henti di kepalanya; satu, dua, hingga berulang kali berputar. Namun, alih-alih membuatnya terbiasa, rasa terguncang yang menghantui justru kian menggila. 

Jati adalah seseorang yang mengulurkan tangan padanya, menyelamatkannya.

Jati adalah Si Serba Hitam.

Si Serba Hitam adalah orang yang menghancurkan kehidupannya.

Artinya, Jati adalah orang yang menghancurkan kehidupannya. Kalimat itu seharusnya masuk akal. Namun, tiap kali Haw mengatakannya, dalam hati sekali pun, terasa begitu berat.

Hari saat dia duduk di ayunan Alun-Alun Kalong terasa sudah lama sekali. Mungkin tak ada hal besar yang terjadi. Namun, bahkan hembusan angin yang menerpa pada momen tersebut sanggup merasakan bahwa gadis itu memutuskan untuk merelakan sesuatu yang besar dalam hidupnya—keinginan untuk membalas dendam akan Si Serba Hitam, hanya untuk mencurahkan segalanya pada kehidupan kecil bersama Jati dan Bana.

Namun, ternyata Jati adalah Si Serba Hitam itu sendiri.

Tak lain, Haw merelakan segala kebencian yang menjadi sumber kekuatan untuk tetap tegar menghadapi kerasnya dunia, hanya demi seseorang yang dibenci habis-habisan.

Dahulu, Haw bisa tanpa ragu meneriakkan umpatan tanpa ampun pada Si Serba Hitam. Namun, bagaimana sekarang dia bisa mengatakan hal serupa di depan Jati?

Gadis itu menghela napas gusar, makin menenggelamkan kepalanya dalam dekapan lengan dan lutut.

Andai saat itu, ketika mengetahui bahwa Jati adalah buronan, dia menuruti ucapan Bana untuk pergi. Bahkan sejak awal, seharusnya Haw tak pernah menerima permintaan Jati untuk membantu mencari alamat paket.

Ya, seharusnya begitu.

Lihat selengkapnya