Gerbang kediaman besar Haui menutup dengan sendirinya, tepat setelah sang tuan rumah satu-satunya meninggalkan pekarangan. Bergerak dengan stabil dan terarah, seiring si gadis juga kian melangkah menjauh.
Haw menyusuri trotoar. Hari masih terlalu pagi, membuat gadis itu memasukkan kedua tangan ke dalam jaket bulu tebal yang baru saja dia temukan dari tumpukan pakaian yang berantakan di lemari besar kamarnya.
Dia tak memiliki rencana khusus pagi ini. Wajahnya yang murung tak akan membuat siapa pun yang sempat ditemui menjadi merasa senang. Gadis itu hanya berniat untuk berputar-putar; atau bila beruntung, dia mungkin menyempatkan diri untuk membeli sarapan sekalian.
Haw masih ada ingat salah satu restoran steik favoritnya, beberapa blok dari sini.
Kedua alis gadis itu terangkat. Di tengah paras murungnya yang menyedihkan, sebuah senyuman setengah paksaaan—yang entah mengapa juga terlihat tulus—mengembang tipis. Dia masih ingat, tempat itu selalu menjadi yang terbaik untuk memperbaiki suasana hati, terutama saat Haw masih kecil.
Pagi hari begini, kerap kali jalanan masih lenggang. Hanya sesekali dalam beberapa menit, sepeda motor atau mobil terlihat melintas. Kali ini, semenjak meninggalkan kediaman, Haw belum melihat satu pun kendaraan.
Hanya ada sebuah sedan, sepuluh meter di belakangnya.
Haw tak melihat—sekali pun melihat, dia tak akan menyadari—tepat sesaat setelahnya, sebuah truk melesat keluar dari gang yang hanya dua meter di belakangnya. Tanpa menurunkan kecepatan sedikit pun, dengan arah yang tak seharusnya; bukannya berbelok mengikuti arah jalan utama, melainkan tetap ke depan.
Lurus ke arah trotoar tempat Haw berjalan.
Saat gadis itu menoleh belakang, dentuman kencang menggema di telinganya. Dalam satu hentakan gemuruh besar angin yang singkat dan menghempas segalanya dengan kasar bersama serpihan debu tajam, semua kericuhan itu menjadi hening.
Terlalu sunyi untuk kekacauan yang baru saja melintas bagai satu kilatan petir di tengah malam yang panjang.
Truk berhenti tiga sentimeter dari trotoar—terlihat jelas bila berhenti dengan direm dan bukan menabrak—dengan posisi melintang di dua sisi jalan. Muatan berupa box kokoh di belakang kepala truk, cukup tergores dan sedikit ringsek akibat hantaman mobil sedan dari lajur kiri jalanan.
Haw kurang lebih bisa mengira-ngira apa yang sebelumnya terjadi.
Mobil sedan itu kehilangan kendali dan nyaris menabraknya, andai truk ini tidak berusaha menghentikannya.
Truk.
Haw memandang kendaraan itu sekali lagi. Kepala truk didominasi hijau yellow green dengan sedikit sentuhan cokelat carob. Box kekar yang diangkutnya memiliki warna tak jauh berbeda, dengan dilengkapi tulisan T-Grandis Express.
“Yo, Abangnya …"
Pandangan Haw bergeser saat seseorang membuka pintu sebelah kanan kabin dan melangkah turun. Gadis itu sudah tak terkejut—tidak setelah mengetahui truk macam apa yang ada di hadapannya.
Orang itu berjalan memutar menghampiri mobil sedan yang masih belum menjauhkan moncongnya yang menempel pada bak truk. "Gue punya banyak kenalan polisi, jadi jangan kabur lu ….” Dia menengok si sopir—tampak terguncang, ketakutan, dan bingung—dari kaca jendela yang terbuka. “Pastikan lu urus baik-baik masalah ini dan hubungin nomor di situ.”
Dia meraih selembar kertas dari saku celana, kemudian melemparkan ke arah si sopir itu melalui jendela mobil.
Sebuah kartu tanda pengenal.
CEO T-Grandis Express.