Roda truk menyusuri sepanjang jalan tanpa ada perubahan kecepatan yang tidak wajar. Keenamnya masih berfungsi dengan sempurna usai insiden barusan. Suara mesin juga tetap terdengar halus dan tampak tak ada masalah.
“Daripada lu, gue lebih gak paham tentang sparepart, tapi gue tahu beberapa tempat mungkin jualan itu dengan lengkap.” Haw menyandarkan kepala di kursi kiri kabin Fero dengan malas.
“Iya, gak apa-apa.” Jati menengok kanan sesaat, memeriksa keadaan, sebelum menurunkan kecepatan kendaraan. “Gue sendiri udah tahu tempatnya.”
“Apa?” Haw langsung menegakkan tubuh dan menoleh menatap pria muda itu dengan kesal. “Terus kenapa repot-repot minta tolong gue?”
“Karena kalo gak ada lu, yang kurang jadi makin banyak.” Jati membuka pintu kabin sebelah kiri, lalu turun sambil menyeru pada gadis yang tersisa di sana, “Tetap di situ aja.”
"Tempatnya di sini?"
"Yap," katanya enteng. Kemudian langsung menutup pintu kembali dan beranjak. "Tapi gue gak tahu apakah bisa dapatin itu kembali atau enggak."
Haw tak henti memutar otak, tetapi ucapan pria muda itu belum juga dipahaminya. Mendengus lirih tak peduli, gadis itu kemudian asal memperhatikan tempat mereka berhenti. Mimik mukanya seketika berubah. “Ini kan ….”
"Buka lagi nih, Mas?" Jati asal menyambar kursi di depan meja yang diletakkan menempel dengan etalase—tempat di mana seorang pemuda berdiri dengan posisi menghadapnya. "Rejeki lagi lebih baik daripada biasanya, ya?" Dia sambil memandang sekeliling.
Jati sangat tahu apa yang dia katakan dan bagaimana pemuda di depannya itu akan merespons.
Si pemilik warung yang baru saja sedikit mengangkat kepala untuk menatap pengunjung yang datang. Sesaat, dalam hanya setengah detik dia terdiam, ada gejolak tak biasa yang memenuhi raga—dan Jati bisa mengetahuinya. “Yah, begitulah,” kata Bana kemudian.
Jati masih sedikit menghadap samping—lantaran sebelumnya masih memandang sekeliling. Namun, tatapannya bergeser melirik pemuda di balik etalase. Senyuman ala basa-basi sok ramah si pria muda barusan, kini menjadi sedikit berubah.
"Mas, nasi masih?" Jati akhirnya duduk menghadap depan, lurus dengan pemuda itu.
"Masih."
"Kok masih? Gak laku, ya?"
Bana nyaris mengumpat.
Si pria muda di hadapannya justru tertawa. "Bercanda, tahu. Bukannya anak-anak muda yang lebih jago bercandaan model gini?"
Tetap tak ada kata yang diucapkan. Hanya wajah makin kesal yang menjadi respons.
Bana sungguh tak ingin bereaksi. Dia memang tahu itu candaan, tetapi itu juga benar. Baru pagi-pagi tadi, dia mencari stok makanan, camilan, minuman, dan sebagainya seadanya. Sedikit sekali pun tak masalah, asal dia bisa membuka warung hari ini.
"Jadi,” Bana akhirnya buka suara, “Abangnya mau beli apa?"