Kantor T-Grandis Express Cabang Indramayu sibuk sendiri dengan karyawan-karyawan yang berlalu-lalang di halaman depan yang luas. Sepeda motor berjajar rapi, meski akan keluar masuk dalam waktu singkat. Truk pun serupa, termasuk salah satu yang baru datang dan ditata di ujung kanan dekat gedung kantor.
Jati memasuki gedung utama, melewati meja informasi, dan masih terus melangkah sambil matanya tertuju pada sebuah meja besar dengan masing-masing tiga kursi berhadapan di kanan-kiri.
Bergabung dengan tiga orang yang sudah lebih dulu hadir di sana, Jati asal mengambil duduk di samping si pria tua, dengan posisi tubuh agak miring dari dua bocah yang ada di seberang meja. “Fero-nya gue tabrakin ke mobil, yang gue bawa barusan.”
“Apa?” Rawi spontan menatapnya.
“Ceritanya ribet.” Jati membuang muka.
Sejenak, pria itu masih menatap Jati seolah hendak mengintrogasinya habis-habisan sampai dia mau bicara. Namun, pada akhirnya Rawi beralih memandang depan sambil mengayun-ayunkan gelas kertas berisi kopi miliknya. "Jati emang gak ada pengiriman hari ini, tapi saya minta kamu buat bantuin di gudang bisa, ‘kan? Kalo nanti ada yang bingung, tanyain aja ke mbak karyawan baru di meja informasi.”
Jati terkejut. Raut kesal langsung kentara di wajahnya, dengan mulut terbuka siap meneror penolakan. “Bentar, lu marah sama gue gara-gara itu? Yang salah bukan gue, tahu!”
Rawi kembali memandang pria muda itu. Senyum lebarnya mengembang, tampak ramah sekali dengan sepasang mata yang tertutup. Namun, Jati bisa merasakan aura sebaliknya memancar habis-habisan seolah ingin membakarnya.
Dahi si pria muda berkedut kesal. Tak ada pilihan lain, dia lantas tiba-tiba langsung beranjak sambil mengerang kesal. “Iya, iya ….”
Sesaat, paras Rawi tak berubah, sampai dia kemudian membuka mata, menatap Jati menjauh dengan senyuman yang luntur dengan cepat seiring mimik mukanya menjadi lebih lembut—dan tipis-tipis tampak pilu.
Tentu bukan itu saja alasannya menyuruh Jati bekerja sekarang juga.
Selang beberapa meter, Jati agak berteriak kepada Rawi tanpa berbalik untuk memandangnya, "Jangan lupa urusin Fero yang penyok itu. Beneran, lho!"
“Tentu ….” katanya santai, kembali seperti biasa. Kemudian beralih ke Haw di seberang meja. “Oh, ya, kalian tahu, di setiap kantor T-Grandis Express, selalu ada ruangan CEO. Jadi, mau kapan pun berkunjung, saya pasti punya tempat.”
Haw menjadi berpikir sesuatu. “Om, bentar deh. Jangan-jangan … selain di kantor pusat, gedung TGE yang lain juga ada kebunnya?”
“Tentu saja. Di semua kantor T-Grandis Express, lho. Keren, bukan?”
Gadis itu tak bisa berkata-kata. Senyuman paksaannya tak bisa ditahan—dan masih terpampang saat dia pada akhirnya sedikit mengangguk untuk mengiyakan kalimat pria itu. Dia seketika merasa bahwa Rawi benar-benar orang yang nyentrik.
Perhatian akhirnya beralih saat ponsel Rawi di meja berdering. Pria itu memeriksa layar sesaat, kemudian meninggalkan meja untuk menerima telepon setelah menatap sesaat dua bocah di meja sambil berkata, “Sebentar, ya.”
Ketika Rawi yang terkunci di dalam pandangan kedua bocah itu sudah terlalu jauh untuk menjadi pusat perhatian, tanpa sadar mereka beralih menoleh kanan, lurus dengan pintu masuk gedung utama yang terbuka lebar.
Jati terlihat mondar-mandir di halaman gedung sambil membawa beberapa kertas rekap paket, sesekali dia memberi arahan pada truk—yang membawa paket-paket dari sub provinsi—untuk parkir di posisi yang tepat. Tak lama kemudian, pria muda itu muncul kembali untuk menghampiri meja informasi, menanyakan sesuatu dengan sigap, kemudian pergi lagi.
Sudah dua kali ini Haw memandang Jati dari kejauhan. Yang pertama dulu memang memancing gejolak mengusik yang berputar-putar dalam raga tanpa ampun, tetapi kali ini perasaan itu bercampur dengan sesuatu yang lebih tidak bisa dijelaskan dan memberi efek mengganggu yang lebih parah.
Haw merasa tak tahan, tetapi dia juga terlalu muak untuk melakukan apa pun.
Saat menyadari, kedua bocah itu telah tenggelam dalam keheningan. Haw sedikit menggeser pandangan menuju pemuda di sebelahnya. Bana memang duduk di sampingnya, tetapi posisinya ada di antara Haw dan pintu. Dengan keadaan Bana yang masih memandang halaman depan gedung, sama saja dia membelakangi Haw.
Gadis itu masih ingat bagaimana muka murka pemuda tersebut kemarin malam—sesuatu yang tak disangka akan dilihatnya dari seseorang seperti Bana. Dia tak benar-benar paham akan perasaan pemuda itu, tetapi setidaknya dia tahu ada yang tidak beres.
Haw hendak berbicara saat Rawi tiba-tiba telah kembali, “Banas, bisa minta tolong?”