Tuan Lori

Adinda Amalia
Chapter #73

72: Kesalahan dan Kekacauan

“Wah, gak beres semua ini ….” Rawi berkali-kali memeriksa antara selembar kertas dalam map yang dibawanya dengan isi kotak-kotak di ruangan, dan dia makin sering mengucapkan kembali kalimat itu.

Pria itu berdiri sedikit lebih memasuki ruang dari daun pintu yang terbuka, sambil menggerutu. Kertas-kertas di tangannya itu agaknya hendak mencari korban yang disalahkan, tepat sebelum dia menyadari sesuatu.

Rawi menengok ke luar pintu. Seorang pemuda berdiri menyandar lorong dengan pandangan tak fokus yang entah sedang berada di mana—dan entah sejak kapan pula dia berdiam diri dengan keadaan seperti itu.

“Cowok-cowok, daripada menganggur tidak jelas, mau bantuin saya?” kata Rawi.

Bana menoleh menatapnya.

Sementara Rawi berganti ke sisi lain. Tepat di sebelah di pintu, terdapat belokan lorong dan seorang pria muda yang juga entah sejak kapan duduk menyandar dinding di sana sambil menunduk dan menyangga kedua lengan pada sepasang lutut yang ditekuk ke atas.

"Kamu juga." Kalimat singkat sang CEO itu membuat si pria muda sedikit mengangkat kepala.

Kedua orang yang dimaksud tentu tak bisa saling memandang. Hanya ada beberapa detik keheningan, waktu yang singkat, tetapi sudah cukup bagi mereka untuk saling mengetahui bahwa tak ada satu pun yang ingin protes. Dengan begitu, Rawi sudah bisa menyimpulkan keputusan mereka.

Rawi meminta keduanya untuk memasuki ruang. Mereka berdiri tak jauh dari tempat sang CEO itu berada; memindai seisi ruang dari kanan ke kiri dengan singkat dan dengan cepat mengetahui bahwa tumpukan-tumpukan kardus di sana berisi tumpukan berkas-berkas yang terlihat sekilas dari satu dua kardus yang terbuka sedikit. 

“Saya butuh kalian buat bawa semua ini ke lantai tiga,” kata Rawi.

“Ini lantai dua, ya?” Bana mengalikan pandangan menuju pria itu.

“Benar sekali.” Rawi tersenyum ramah khasnya.

Jati yang sebelumnya ikut menatap pria itu—meski dengan wajah malas-malasan yang menyebalkan—menggeser pandangan ke pintu ruangan yang terbuka, tepat di belakang sang CEO. Lift terlihat ada di seberang ruang. “Cuma mindahin ke ruang dokumen ke lantai tiga, ‘kan?”

“Benar,” kata Rawi lagi, masih dengan nada bicara yang sama. Dia merapikan kertas di tangannya. “Saya ada pekerjaan lain, jadi ini semua saya serahin ke kalian, ya.” Lantas meninggalkan ruang setelah tersenyum—dengan artian terima kasih—kepada Bana dan Jati. Sesaat kemudian, tepat usai melewati pintu, dia tiba-tiba menengok ke dalam ruangan kembali. “Tapi karena lift-nya rusak, kalian harus lewat tangga.”

Seketika, Jati dan Bana menjadi pucat. 

Lihat selengkapnya