Tuan Lori

Adinda Amalia
Chapter #76

75: Masihlah Dua Bocah dan Satu Anak Lelaki

Jam kerja para kurir T-Grandis Express telah berakhir lima menit lalu. Seluruh Ironclad Fero milik ekspedisi telah kembali ke parkiran. Semua masih dalam keadaan panas lantaran baru saja selesai dipakai, tetapi ada satu yang tetap sedingin es lantaran sama sekali tak bergerak bahkan sejak beberapa hari lalu, seolah tertinggal di tengah arus kehidupan.

Hanya saja, kali ini Fero itu tampak sedikit lebih hidup. Mesin kendaraan masih mati, hanya saja kedua kaca jendela kabin terbuka. Dari salah satunya, terlihat sepasang kaki menyilang dan agak menggantung keluar.

Haw berada di dalam sana. Tiduran dengan kepala berada di kursi tengah, sedangkan tubuhnya berada di kursi kiri, dan kedua kaki diangkat untuk menyangga di atas jendela. Sebelah lengan menutupi mata. 

Dia terpejam, tetapi alih-alih terlelap, angannya justru menjelajah ke segala penjuru ingatan. Lalu yang paling menempel sejak tadi dan kini seolah tergambar ulang dalam jelas adalah peristiwa yang hampir genap dua puluh empat jam lalu terjadi.

Setelah kembang api di acara puncak Hari Jadi Kabupaten Indramayu, esoknya Haw sama sekali tidak melihat Jati dan Bana—setidaknya sampai sore. Saat itu, lantai, dinding-dinding, dan hampir seluruh sisi gedung Kantor T-Grandis Express Cabang Indramayu memantulkan cahaya jingga yang mulai dipancarkan oleh langit, menyentuh kulit dengan sensasi hangat yang menenangkan, ditemani angin yang menghapus gerah dan memecah hening gedung dengan karyawannya yang telah pulang satu per satu.

Haw sengaja berjalan menuju atap gedung, hanya berniat untuk menengok kebun yang dikatakan Rawi ada pula di sini. Usai mencapai anak tangga teratas, dia disambut oleh lorong selebar dua meter dengan sebuah pintu tanpa daun yang menghubungkan dengan kebun terbuka di atap.

Melalui pintu tanpa daun yang masih berada lebih dari satu meter darinya itu, Haw sudah melihat deretan pot tanaman segar dan kursi-kursi kayu cantik yang dilindungi atap tambahan kecil.

Gadis itu melanjutkan langkah. Namun, sesaat sebelum berbelok melewati pintu tanpa daun itu, dia tiba-tiba terhenti oleh suara dentuman di balik dinding berada tepat di sebelahnya.

Seseorang memukul dinding dari sisi seberang; dan amarah yang merambat dari sana sungguh nyata. Entah mengapa, tanpa melihat seseorang di sana, Haw bisa merasakan siapa itu. Bana.

Tanpa dia sadari, Haw hafal dengan aura amarah Bana yang cenderung berbeda dengan kebanyakan orang; amarah yang akhirnya meledak setelah dipendam terlalu lama, khas seseorang baik hati sepertinya.

Amarah seperti itu, cukup mengerikan untuk dilihat.

Ketika batas paling tebal bahkan telah ditembus, maka tak akan ada lagi yang sanggup menahan. Bila bukan dengan kata-kata, maka tangan yang akan bertindak. Mengamuk, mendorong, melempar, menghancurkan segala benda di depan mata.

Haw tak sedikit pun beranjak, dia sudah siap untuk mendengarnya. Namun, nyatanya, setelah beberapa detik, yang sampai di telinganya hanyalah keheningan dan sebuah suara lirih—yang hampir tak terdengar—isak tangis.

“Bana masih aja seorang putra yang gak bisa diandalkan," rintih pemuda itu. "Gak balas dendam dan fokus ke kehidupan sendiri … Bana gak bisa memenuhi itu. Bana malah melukai seseorang terdekat. Ibuk, Bapak, gimana caranya biar Bana bisa sehebat kalian? Tolong, Bana gak mau jadi jahat kayak orang-orang sialan itu ….”

Suara pemuda itu menipis di ujung kalimatnya, hingga habis dan nyaris tak bisa dibedakan dengan keheningan. Sejenak, mungkin dia masih menggali kesuh kesah lain yang bisa dituturkan. Namun, seiring satu, dua, lalu tiga detik berlalu, Bana memilih untuk mengurungkan niat. Agaknya dia tahu sepasang pria wanita tempatnya mengadu, tak akan pernah menjawab. 

Helaan napas panjang nan berat pemuda itu kentara sekali. “Gue sebenarnya paham sama semua yang terjadi dan sama sekali gak pengen marah ke …,” dia tak sanggup melanjutkan, nama yang seharusnya disebut justru tertahan.

Keheningan yang tak seharusnya, menyelinap menguasai udara di sekitar dengan cepat. Meski baru sesaat, tetapi perasaan yang kemudian tumpah ruah di sana terasa sudah begitu berat menggelayuti, bersatu dengan setiap titik udara di sana.

Haw menghembus napas yang tanpa sadar tertahan. Dia menyadari air matanya hampir jatuh; dan entah kapan terakhir kali dia menangis untuk orang lain. Padahal, setelah apa yang dilakukan pemuda itu padanya, dia seharusnya masih marah.

Namun, saat ini—bahkan sesungguhnya sejak awal—Haw tak pernah benar-benar marah kepada Bana. Di sela sikap gadis itu yang seakan-akan muak dengannya, sebenarnya Haw memang merasa bersalah, dia menerima bila Bana menuduhnya, dan dia memang ingin meminta maaf kepadanya.

Bana melipat lengan di dinding, untuk menyangga kepala. Sementara Haw di baliknya, meletakkan salah satu telapak tangan di dinding. Andai saja tak ada penghalang, keduanya akan berhadapan sempurna.

Dua bocah yang menyedihkan.

Mengingat itu, Haw yang sekarang masih tiduran di dalam kabin Fero, menjadi menggerutu gusar. Dia tahu beberapa bagian dari hidupnya mungkin sudah mulai membaik. Namun, di sisi lain, entah mengapa bagian buruknya malah terasa makin hancur.

Lihat selengkapnya