Tuan Lori

Adinda Amalia
Chapter #77

76: Sepetak Ruang yang Sama

Bekas roda mobil yang baru saja lewat masih terlukis segar di tanah. Kemudian menjadi sedikit tergores saat gerbang besi besar dan kokoh perlahan ditutup kembali. Kendaraan tahanan berhenti di depan sel, menurunkan beberapa orang yang menumpanginya.

Seseorang di sebelah sopir, meninggalkan kendaraan sedikit lebih lambat daripada lainnya. Berseragam berbeda sendiri, bukan segera celana dan kemeja putih penuh deretan badge, tetapi juga dengan sebuah jas hitam, meski panjangnya hanya sampai pinggang. Dia tampak sedikit lebih santai selagi petugas-petugas lain terdengar berulang kali menyeru tegas.

"Gak perlu kasar padanya.” Begitu kendaraan tahanan berlalu, tampak para anggota Kepolisian Khusus dengan garang memegang dan mendorong seorang pria muda yang tampak acak-acakan. “Dia gak akan melawan.”

Mereka berhenti. "Tapi, Sersan Ode ….”

Pria tiga puluh tahun yang semula menatap sekitar dengan tenang, kini beralih memandang mereka. “Dia datang ke sini karena keinginannya sendiri.”

Meski tampak berat hati, pada akhirnya mereka menurut. Nyatanya, ucapan sang ajudan dari Kapten Divisi A Satuan Kepolisian Khusus Kenegaraan itu memang benar. Pria muda yang mereka seret sama sekali tak memberontak. Hanya menunduk, tanpa membiarkan wajahnya yang entah sekarang seperti apa, terlihat.

Lembaga Pemasyarakat Pusat Bagian Internal, dipegang sepenuhnya Satuan Kepolisian Khusus Kenegaraan. Berlokasi di Jakarta dengan alamat presisi yang sulit untuk dibocorkan sembarangan. Dikelola dengan sistem dan aturan sedemikian rupa, terpisah, dan berbeda dengan Polisi Republik—yang sudah lebih dulu hadir.

Bangsal IX No. VII, Blok D, Kelas VIII, Eksklusif I.

Sepetak ruang dengan dinding putih dan jeruji hitam hitam yang tampak hampa itu terasa membosankan. Saat menyadarinya, Jati nyaris tenggelam dalam ingatan masa lalu. Sekeliling yang sama sekali tak berubah membuat sesaat dia lupa bahwa sekitar sepuluh tahun telah terlewati.

Dia masih mengingat dengan jelas seperti ingatan segar kemarin, seorang lelaki yang tampak gila merobek habis-habisan sebuah buku bersampul putih. Menjadikannya potongan-potongan kecil menyedihkan, dengan ujung sisi yang kasar dan berantakan, melambangkan amarah, frustasi, dan kebencian.

Tanpa seorang pun tahu, bahwa lelaki itu sesungguhnya tak pernah benar-benar merusak buku tersebut. Apa yang dirasakannya hanyalah kehampaan gelap, dingin, mencekam, menggelayuti, dan seolah-olah hendak menelannya. Dia hanya bisa meringkuk ketakutan tanpa daya. Terpojok dari suara-suara mengusik nan melengking tanpa henti yang seakan-akan sebentar lagi akan membuat kepalanya pecah.

Dengan dekapan pada diri sendiri yang menjadi makin erat, serta tubuh gemetar, dia memelas lirih, "Tolong. Ricuh sekali. Diamlah ...."

Apa yang tersisa darinya hanyalah meratapi buku sialan itu. Kata-kata yang selalu berubah menjadi kenyataan, seolah mengambil alih kendali hidupnya dari Jati sendiri.

Hidup yang sudah tersisa cahaya hanya dari celah kecil, menjadi gelap tanpa sisa saat tanpa sadar dia sudah terobsesi untuk mengalahkan buku itu; dan dengan bodoh dia tak berusaha melawan, hingga perlahan rusak, hancur, dan menusuk dirinya sendiri.

Berdecak kesal, Jati menyandarkan kepala kasar ke dinding. Sel yang sama dan ingatan yang tiba-tiba bangkit, membuatnya hampir gila lantaran seakan-akan merasakan hal yang sama persis kembali. Meski setidaknya, kali ini dia tak sampai tenggelam dalam kehampaan nan gelap kembali; dan buku sialan itu juga entah berada di mana.

Jati asal melirik dirinya sendiri; pakaian serba abu-abu, entah sejak kapan dia mengenakannya—setidaknya ini bukan setelan yang sama seperti sekitar satu dekade lalu. Pakaian khas tahanan Kepolisian Khusus itu masih saja terlihat menjemukkan.

Langkah kaki lirih di kejauhan mencuri perhatian Jati. "Gue udah dapat izin dari Sersan Ode buat masuk ke sini, gak usah bercanda lu …," kalimat itu melintas sekilas dari warna suara yang seper empat familiar, tetapi Jati tak cukup memberikan atensi padanya. Beberapa saat dia tak mengalihkan pandangan dari kaos abu-abunya hingga bunyi khas sepatu pantofel itu menjadi makin kencang hingga akhirnya berhenti.

Celana hitam, kemeja putih, dan jas panjang yang familiar. Begitu pun deretan badge pada dada dan pundak, sama seperti milik seseorang yang pernah dilihatnya dulu, hanya berbeda di salah satu huruf yang tertera di sana.

Lihat selengkapnya