Haw dan Bana berlari memasuki area kantor polisi. Beberapa anggota Kepolisian Khusus terdengar hendak menghentikan aksi mereka yang disebut lancang, tetapi yang lain justru menghentikan rekannya. Itu saja sudah terasa aneh Namun, kedua bocah tersebut tetap berlari makin ke dalam.
Tempat itu terasa makin aneh lagi, saat para anggota Kepolisian Khusus kemudian tampak menatap mereka—tentu saja dua orang yang masuk area kantor polisi dengan berlari pasti akan menarik atensi, tetapi cara mereka menatap keduanya terasa berbeda; disertai bisikan-bisikan yang saling mereka utarakan.
"Kenapa emangnya?" kata salah dari mereka.
"Letkol Harim …," kata yang lain, tak terdengar sisanya, terlalu lirih.
"Maut?" yang lain bergumam sedikit kencang.
"Laut! Eksekusi laut," kata yang lain geram.
"Itu seriusan?" sahut satunya.
Ketika kemudian Bana tak sengaja menoleh, mencuri pandang akan mereka yang berbisik-bisik, dia melihat salah satunya mengangguk. "Untuk pertama kalinya dia negeri ini. Lagian, Letkol Harim sendiri juga kan yang menyerukan eksekusi laut sebagai pengganti hukuman mati."
Langkah kaki kencang Haw membuat Bana tersadar dan kembali menatap depan, melanjutkan berlari—sesaat sebelumnya sempat sedikit melambat bersamaan dengan dia melamun.
Segera, mereka sampai di depan ruangan Harim.
“Letkol Harim,” seru Bana, masih terdengar sopan.
“Kami izin masuk!” Haw langsung membuka pintu.
Harim berada di ruangannya, duduk dengan memandang jendela kaca yang membanjirinya dengan cahaya jingga, tetapi juga menciptakan bayangan hitam besar di belakangnya, memunggungi kedua bocah itu.
“Letkol Harim, maaf bila kami sedikit lancang, tapi saya harus menanyakan sesuatu,” ujar Bana tanpa terlihat gentar sedikit pun. “Anda … hendak melakukan eksekusi laut terhadap Bang Jati?”
Sesaat, letnan kolonel itu hanya diam. Entah untuk memberi waktu kepada anak-anak itu untuk berpikir, atau menyiapkan dirinya untuk menjawab—sesuatu yang seharusnya tidak berat. Dia belum bergerak dari posisi semula. “Itu salah.”
Haw langsung kesal. “Saya dengar sendiri! Anak buah Anda yang bilang gitu!”
“Itu kata mereka, bukan kata gue.”
Bana tertegun. Dia sudah bisa menyadari ada yang tak beres—dengan sangat-sangat kacau—saat Harim berkata begitu, tetapi dia masih belum mengetahui tepatnya apa itu. Namun, sungguh? Di tempat ini? Kepolisian Khusus yang dibangga-banggakan oleh negara?
“Kalian tahu tentang eksekusi laut?”
Bana menjadi serius, berujar lirih, tetapi tegas, “Saya sudah pernah dengar tentang itu.” Tayangan yang dilihat Bana di televisi warung waktu itu serta beberapa bacaan mengenai hal serupa, pernah masuk kepalanya.
“Empat puluh lima hari berada di Rumah Refleksi sebelum akhirnya dijatuhkan di atas laut dari ketinggian 1945 mdpl,” jelas Harim singkat, suaranya datar. “Tapi, buat orang semacam dia … Rumah Refleksi cuma bakal bikin dia jadi manja. Jadi, itu gak diperlukan.”