Tuan Lori

Adinda Amalia
Chapter #79

78: Pria yang Seperti Beraroma Manis

Surat Perintah.

Selembar kertas itu hanya dilihat oleh Jati selama sesaat. Hampir tak genap sedetik. Isinya penuh satu halaman, cukup rinci menjelaskan. Namun, dia tak perlu membaca semua untuk mengetahui isinya.

Letnan Kolonel Harimmurdhi.

Nama itu masih belum hilang dari bayang-bayang dalam angannya, meski sekian menit telah berlalu. Itu bukan lagi ingatan segar, seharusnya sudah menjadi debu beterbarang dan dilupakan oleh otak karena tidak penting.

Karunanidhi Kin Dananjaya.

Sayangnya, benak Jati dengan menyebalkan berada di luar kendalinya. Makin dia berusaha untuk tidak peduli, deretan tulisan di sana kian jelas terukir dalam pikiran; lebih daripada kenyataan yang ditangkapnya dengan kedua mata saat ini. Detak jantung berpacu. Dia tak tahu perasaan apa yang menggelayuti—entah tak ingin pergi atau terlalu takut untuk meninggalkan orang-orang yang masih ingin digenggamnya—saat kata paling mengerikan muncul.

Eksekusi Laut.

“Senja yang indah, bukan?” Seorang pria tiba-tiba sudah berdiri di seberang jeruji. Kedatangannya seperti hujan deras di pertengahan musim panas; tiba-tiba, aneh, dan tak diinginkan. Menjadikan Jati bukan lagi satu-satunya orang, setidaknya di sepanjang deretan sel dan lorong. “Lebih lagi bila dilihat dari dalam sepetak ruang itu,” katanya dengan enteng, terdengar bersahabat. 

Pria muda di depannya duduk menyandar ujung dinding sambil menunduk. Sama sekali tak terlihat ingin mengeluarkan sepatah kata. Jati tahu pria di hadapannya itu menyindir. Dari tempatnya berada saat ini, hanya terlihat jeruji, lorong, kemudian dinding. Sama sekali tak ada celah untuk melihat dunia luar; dia bahkan tak tahu apakah saat ini benar-benar sedang sore.

Senyuman pria itu melebar. “Tak kusangka bisa melihatmu di tempat ini lagi, sama persis kayak dulu, ya?”

Dia mengamati pria muda di depannya sesaat. “Beberapa tahun telah berlalu, kukira kamu bakal berubah, ternyata sedikit pun enggak,” katanya. “Oh, mungkin,” dia berpura-pura terkejut dengan cara yang sangat tidak alami menurut Jati—dan itu membuatnya jijik, “kamu sebenarnya sudah mencoba berubah, tetapi kemudian menyesal sehingga memutuskan buat kembali bersikap kayak dulu?”

Sebelum Jati sempat menunjukkan reaksi, pria itu selangkah mendekat, dan derapnya entah mengapa terdengar menggema kencang. Nada bicara pria itu sama sekali tak berubah, tetapi aura yang memancar darinya tiba-tiba terasa sangat dingin, seperti badai salju di tengah malam. “Yah … padahal sikapmu yang kemarin itu menyenangkan, lho.”

Jati sama sekali tak bergerak. Dia membiarkan murung terlihat jelas, meski dari sela-sela surai depan panjang berantakan yang menutup wajah. Sama sekali tidak tampak ingin memberikan penolakan, untuk sesaat. Sebelum akhirnya mendongak menatap pria itu dengan tatapan garang tanpa ragu sedikit pun. 

“Jangan ngoceh sendiri sesuka lu kayak gitu!” Jati tertawa. “Akhirnya gue bisa lihat wajah lu lagi dengan jelas, Masnya ….” Pria yang tampak seumurannya itu tak membuat Jati berselera, walau sudut-sudut wajahnya tampak halus, bersih, dan menawan, dengan postur tubuh tegap tinggi dan pakaian rapi nan santai berwarna biru tua dan krem yang membuat semua orang berpikiran bahwa dia beraroma manis. Satu yang paling membuat Jati sedikit asing dengannya hanyalah fakta bahwa dia menanggalkan atasan putih dengan dua deret kancing. “Atau perlu gue panggil … Chef Karel?”

Sudut bibir pria itu yang sempat turun, kini mengembang lagi. “Boleh juga. Kalo ada waktu, jangan lupa mampir ke kafe kami. Aku akan memberimu menu istimewa dan diskon khusus.”

“Jangan malah promosi!”

Jati kembali serius. "Hei ….” Dia bangkit, kemudian melangkah mendekat. Menyisakan jeruji sebagai pembatas di antara mereka. “Lu pikir gue bakal terpuruk? Bukannya lu yang paling tahu, apa yang tertulis di buku itu?”

Diperangkap.

Kemudian, tepat di bawahnya:

Dua uluran tangan.

Haw dan Bana pasti akan bangkit dan membantunya. Mereka mungkin terlihat seperti anak bodoh yang hanya tahu bermain-main. Namun, Jati adalah yang paling paham bahwa dua bocah itu dapat melakukan segalanya demi apa yang diinginkan.

Karel tak guncang sedikit pun, "Kamu gak seharusnya lupa apa yang tertulis setelah itu."

Jatuh.

Lihat selengkapnya