Entah berapa lama waktu telah berlalu. Jati hanya dipenuhi muak akan sekotak ruang putih, jeruji besi, dan lorong yang selalu kosong. Akan tetapi, satu hal pasti, dia bisa merasakan, hari telah berganti, entah barusan, agak tadi, atau sudah sejak lama. Pikiran separuh kosong, setengahnya melayang entah kemana. Yang pasti ingin dengan kukuh dia lakukan, Jati tak ingin runtuh sepenuhnya.
Meski itu sangat sulit.
Segala hal terasa asing, hingga satu bunyi kecil mengunggah kembali memori yang begitu dalam dan familiar. Bunyi sentuhan antara besi pintu di jeruji dengan sebuah kunci. Anak lelaki berdiri di sana. Perawakan tegap. Tegas, tetapi tidak panik. Tanpa banyak bicara, langsung ke intinya. Kemudian, yang paling pasti, kemunculan dia adalah kepastian akan satu-satunya celah kecil dari keamanan tinggi di lapas.
Tidak, ini bukan lagi kenangan familiar.
Ini benar-benar, peristiwa yang sama persis.
Anak lelaki itu, mengulang satu kejadian kecil yang menjadi kunci akan goncangnya drama kehidupan ini.
Dia menggiring Jati meninggalkan tahanan. Melewati lorong-lorong kecil, entah ruang apa saja yang dilewatinya, serta momentum kecil nan tepat seperti apa yang berhasil dia cari dan manfaatkan saat ini. Hingga pada akhirnya, anak lelaki itu memimpin langkah, mencapai ambang sebuah pintu kecil di ujung belakang bangunan penjara.
Sekilas, Jati melihat anak itu mengangkat walkie talkie dari pinggangnya, mendekatkan ke telinga, begitu dia sayup-sayup mendengar, "Izin melaporkan, perwakilan anggota Kepolisian Khusus Divisi A yang bertugas di Natuna … kepada Kapten Sidden."
Tatapan Jati yang tertuju ke lantai dan hanya mendapati sebagian kecil dari cahaya-cahaya yang telah menerobos melalui pintu kecil itu, seketika terangkat. Mengapa ada nama itu? Apa hubungan dengan nama itu? Jati memandang anak lelaki itu. Tidak, dia bukan lagi anak lelaki yang dilihatnya sekian tahun lalu. Tentu saja, dia pasti telah tumbuh menjadi remaja.
Namun, alih-alih remaja acak yang Jati mungkin hampir tak memiliki kesempatan untuk bertemu lagi, anak lelaki kala itu, nyatanya… benar-benar Sidden.
Sidden memandang depan dengan visi teramat jelas. Jati menyadari, anak lelaki itu sama sekali tak berubah. Sejak dahulu, sejak dia masih setengah dari tinggi badan Jati, dia adalah anak yang pernah menunjukkan takut atau gentar. Anak dengan pendirian kukuh, mengikuti apa yang ada di hatinya. Dia akan mempertimbangkan baik-baik segala kemungkinan, kemudian mengambil salah satu sebagai kesimpulan dan melaksanakannya dengan hati-hati, tetapi pasti dan yakin. Semua ini, terlihat jelas dari sorot matanya yang sama sekali tak berubah.
Anak yang makin berusaha dipahami oleh Jati, keberadaanya di sini makin terasa aneh.
Sungguh anak lelaki—tidak, lebih tepatnya sekarang dia telah tumbuh remaja, yang rumit.
“Siap!” Sidden membalas melalui walkie talkie, sambil melangkah sekali untuk menutup pintu di belakangnya tanpa membalikkan badan.
“Natuna?” Tatapan Jati kembali serius.
"Lokasi melompat buat eksekusi laut. Lu tahu, 'kan?" katanya, tanpa memandang pria muda itu.
Kemudian, sayup-sayup suara terdengar kembali dari walkie talkie, "Lu melakukan hal yang sama lagi …," tetapi kali ini dari orang yang berbeda, "Sid?"
"Diam lu, dasar letkol sialan."
Harim terdengar tertawa dari seberang sambungan suara. "Orang sialan itu ada di situ, 'kan?" Kalimat itu membuat pandangan Sidden akhirnya agak bergeser pada Jati. "Hei …," katanya lagi, agaknya berbicara kepada Jati. “Gue tahu lu gak bakal mau dengerin gue, tapi seenggaknya camkan baik-baik ini di otak lu.”
Lantas, Harim melanjutkan, “Gue serius ngomong ini … lu bebas mau melakukan hal yang sama kayak dulu.”
Alis Jati berkedut. Tak yakin bagaimana harus merespons. Dia paham maksud Harim, yaitu kabur dari penjara lagi seperti dahulu. Namun, setelah segala upaya untuk mengejarnya selama ini, mengapa polisi itu dapat dengan mudahnya berkata demikian? Jati merasakan ada yang tidak beres.
“Karena sekarang udah ada seseorang yang bersedia menggantikan lu,” sambung Harim lagi.
“Yang lu inginkan sebenarnya apaan?” Jati berbicara tegas tiba-tiba, nyaris menyela.
Harim tertawa kecil sekali lagi. “Pertanyaan lu sama kayak anak itu, ya.”
Jati begitu terkesiap. Anak?
Harim agaknya sudah bisa menebak bagaimana reaksi Jati. “Gue gak punya waktu buat menyampaikan kata-kata perpisahan lu ke anak itu.”
Jati tak ingin memikirkan siapa pun. Namun, meski demikian, bayang-bayang yang begitu familiar muncul tanpa diminta. Dua bocah—yang seharusnya tak terlibat dalam hiruk-pikuk ini. “Jangan bercanda!” Dia berteriak kencang. Jati bahkan tak tahu, seberapa marah dirinya saat ini.
Jati hanya … berusaha untuk tak memercayainya.
“Woi!” Sekali lagi, dia berteriak kencang, meminta orang menyebalkan di balik sambungan suara itu untuk mengakui bahwa ini memang candaan belaka.
Jatuh.
Di dalam Buku Kinantan, yang dimaksud adalah dirinya. Dialah yang jatuh.
Walkie talkie itu senyap. Sedikit pun suara Harim tak lagi terdengar. Hingga beberapa momen kemudian, tipis-tipis terdengar bunyi borgol yang dilepas, bising hembusan angin kencang, bercampur dengan deru baling-baling helikopter.
“Letkol sialan!” Mau berapa kali pun Jati berteriak—dia tetap ingin berteriak, seseorang di balik sambungan suara itu tak akan merespons—dan Jati sesungguhnya sudah tahu akan hal ini.
Seseorang yang dimaksud dalam Buku Kinantan seharusnya adalah dirinya!
Bukan bocah yang seharusnya duduk di kursi sebelah kemudi Fero sambil mengomel.
Sedikit, suara dari walkie talkie akhirnya terdengar lagi, itu Harim, “Siap?”
“Harimmurdhi!” Nama itu melesat begitu saja dari lidahnya. Jati, sungguh-sungguh ingin menghentikannya—atau setidaknya, biarkan tetap dirinya sendiri yang menjalankan hukuman itu.
Lagi pula, memang itu bukan yang dimaksud Buku Kinantan?
Memang itu, ‘kan?
Memang itu … seharusnya—atau setidaknya, itu yang ingin dipercayai Jati.
Untuk pertama kalinya, setelah bertahun-tahun dia tak pernah mengenal impian dan keinginan, usai selama ini Buku Kinantan hanya menjadi batu keras yang dia yakini tak akan pernah digores barang sedikit pun, Jati akhirnya berharap—dengan begitu berharap, isi dari buku itu dapat berubah.
Jati begitu memohon.
Jati tak masalah dengan dirinya sendiri, tetapi dia begitu ingin memohon… bocah itu, tak seharusnya menanggung semua ini.
Keheningan terasa begitu mencekat dan lama. Hingga kemudian sayup-sayup suara letkol itu terdengar kembali dari walkie talkie, "Melompat dalam hitungan hitungan ketiga." Dan menjadi kian lirih—lantaran jauh, "Satu, dua … tiga."
“Saya melompat.”
Seluruh kehidupan Jati bagai menghilang. Itu suara Bana.