Bana tak ingat sejak kapan sekelilingnya begitu gelap layaknya kehampaan, tetapi entah mengapa juga tidak kosong bagai ketidakberhargaan. Dingin, seperti menembus kulit dan agak-agak menusuk tulang bahkan. Meski begitu, rasanya seperti membawa serta keheningan yang tenang.
“Bana….”
Dia seperti sudah lama sekali tidak mendengar suara itu.
“Bana.” Suara di kepalanya, sedikit makin tegas.
Jati. Itu bagaimana pria muda tersebut biasa memanggilnya.
Hingga kemudian, sebuah suara kencang menghentak, “Banasura!” Menariknya paksa menuju kesadaran. Lantas, saat tiba-tiba membuka mata, dia menyadari bahwa sekeliling bukanlah dasar lautan.
Justru tepi dermaga.
“Letkol Harim?” Dia memandang satu-satunya orang di sana selain dirinya. “Mengapa…”
Pria itu menghela napas. “Orang sialan itu maksa gue buat janji. Ngerepotin emang.” Dia asal berjalan, berlalu di samping Bana begitu saja. “Bangun, ayo pulang.”
“Hah?” Si pemuda reflek menoleh, pandangannya mengejar sang letnan kolonel. Dia masih kesulitan mengambil kesimpulan dari segala hal yang barusan terjadi.
Harim melirik belakang padanya. “Jangan lelet!”
“Enggak, enggak, enggak, maksudnya…,” Bana kesulitan menyusun kata-kata, “Bang Jati….”
“Iya,” Harim mendengus, suara sebalnya makin kentara. “Orang itu bikin gue berjanji buat mastiin lu baik-baik aja.”
Bana menatapnya, sesuatu seperti itu sudah pasti bukan cuma-cuma. “Sebagai ganti dari….”
“Pengakuannya.”
Bana langsung terdiam. Mengapa dia tak terpikir akan itu sejak awal. Jati yang tiba-tiba berada di tangan Kepolisian Khusus dengan begitu mudah, padahal sebelumnya lolos dari kejaran selama bertahun-tahun.
Bana ingin setidaknya membalas pengorbanan Jati. Meski begitu, nyatanya, lagi-lagi, Jatilah yang berkorban untuknya.
“Sekarang, ayo kita pulang,” kata Harim, kali ini lebih tegas, jelas tak ingin mendengarkan keluhan atau rengekan sama sekali. Dia lanjut berjalan dan sudah bisa menebak bahwa kali ini Bana akhirnya bangkit untuk mengikuti langkahnya.