Tuan Lori

Adinda Amalia
Chapter #82

Epilog 02: Book of Aftermath

“Oh, halo, Mahoni.”

Dari santai sama sekali tanpa beban, Jati menjadi agak gelagapan dan bingung. “Mahoni? Iya sih Mahoni emang sama-sama kayu bahan baku furnitur kayak Jati, tapi beda, lho, ya! Beda banget! Beda harga dan beda kualitas!”

Dia seharusnya sudah tahu sesuatu seperti ini akan datang. Ziho sudah pernah berkata padanya tentang seseorang di Kepolisian Khusus yang menganggapnya kayu bahan bayu furnitur, tetapi dalam varian lain. Hanya saja, Jati tak menyangka dia akan merasa begitu tidak nyaman—lebih tepatnya aneh—mendengar panggilan itu.

“Hmm… yang penting kayu, kan?”

Kali ini Jati kehabisan reaksi untuk ditunjukkan.

Dia seorang Mayor Jenderal di Satuan Kepolisian Khusus Kenegaraan. Usianya hanya lebih satu angka dibandingkan Jati, dua tahun sebelum menyentuh kepala tiga. Seragam dasarnya sama seperti yang lain, celana hitam dan kemeja putih. Hanya saja, kerah di jasnya lebih lebar daripada milik Harimmurdhi. Badge lebih banyak serta satu dua detil kecil dari desain yang membuatnya terlihat makin berwibawa—dia bahkan tanpa setelan itu sudah membuat orang-orang disekitarnya reflek ingin menaruh respek.

Sendaren Sangga Hastaka.

“Ah, ngomong-ngomong, terima kasih atas kerja samanya.” Seseorang lain datang. Lelaki dengan jas panjang tetapi masih lebih sederhana bila dibandingkan Sendaren. Dari nada bicara yang super pelan seperti siput malas di tengah hujan deras, Jati sudah bisa menebak siapa gerangan.

“Gak ada ya gue bekerja sama. Gue ke sini karena dipanggil aja,” kata Jati enteng. “Bocah itu mana? Dia yang nyuruh gue ke sini.”

“Sidden? Lagi bicara sama jaksa,” sahut Ziho, seperti tak ada beban, walau mukanya yang sedikit berubah itu telah menjelaskan segalanya. “Meskipun Sidden di pihak lu, lu juga jangan seenaknya, Dhanna, masalah ini… sensitif banget buat kami.”

Jati tertawa mengejek. “Eh… akhirnya atasan kalian malu juga sama insiden ini?”

Sendaren terkekeh manis yang terdengar bersahabat, menanggapi lelucon Jati, tetapi bukan dengan intensi jahat. Justru menyiratkan bahwa seseorang yang bahkan berada pada posisi lumayan tinggi di tempat tersebut memiliki kesan yang tak jauh berbeda.

Berbeda, tatapan Ziho kepada Jati menjadi serius. Dia kemudian menghela napas. “Bikin ngantuk aja… gue pamit, Mayjen.”

“Tidak boleh, dong, Cio.” Dia menahan tangannya.

Ziho menghela napas lagi, kali ini lebih jelas.

“Lu agaknya udah memutuskan pilihan, ya,” Jati melirik lelaki itu, menyinggung hari lalu ketika dia tiba-tiba saja mengunjungi sel tempatnya sempat ditahan dengan alasan kurang lebih demikian.

Ziho menguap, sesaat mengusap tengkuknya. Logat lelaki itu tetap malas-malasan seperti biasa, “Bukan tentang membuat pilihan, tapi lebih ke mau gak mau membela sisi yang menurut gue benar. Dan sekarang semuanya akhirnya kelihatan jelas di mata gue, jadi gue udah bisa ambil penilaian. ”

“Jadi, siapa yang benar di permainan ini?” kata Jati lagi, nadanya yang sok tengil itu tak membuat Ziho beristirahat barang sedikit pun.


Six Seal Magical Cafe selesai dengan para tamu menjelang senja tiba. Papan berisi tulisan menu rekomendasi hari ini, dibawa masuk ke ruangan kembali. Jendela ditutup. Kursi-kursi di halaman dirapikan. Salah satu lelaki remaja dengan apron mengeluarkan kotak-kotak makanan.

Lihat selengkapnya