“Mbak Meisie, Suit habis makan banyak gak? Maaf baru bisa gantiin. Ini pun cuma bisa sedikit.”
“Gak perlu repot-repot, Mas. Saya senang hati kok ngerawatnya, sudah kayak saudaranya Jati.”
“Itu… kucing gue, betewe. Bukan saudara. Gue manusia, walau gak punya saudara sih.”
Jati berkunjung ke kediaman Mitchelddelina hari ini. Terakhir kali, dia hanya bisa memandang gadis itu dari kejauhan—di dalam kabin truk yang terparkir di pinggir jalan—bahkan harus menunduk dan menutupi wajah menggunakan topi ketika gadis itu menatapnya.
Gadis itu lebih cantik dari yang diingat Jati.
“Michell,” kata seseorang, sapaan singkat yang bercampur—nyaris tidak bisa disadari bila tak cukup teliti—mengadu.
Muka Harim langsung berubah begitu melihat keberadaan orang lain di ruang tamu. “Lu! Ngapain di sini?”
Jati menyandar santai di sofa. “Suka suka gue lah. Lu juga ngapain di sini? Mengganggu pemandangan aja!”
“Lu yang mengganggu pemandangan!” Harim makin jengkel. “Lagian gue udah janjian sama Michell mau ke sini. Dasar cowok gak modal!” Dia meletakkan makanan dan minuman yang dibawa di meja ruang tamu, sisi yang paling jauh Jati seakan-akan agar pria muda itu tak bisa meraihnya.
Muncul dari sisi dalam rumah sambil menggendong kucing tanpa bulu, Meisie tertawa lirih, suaranya lembut dan manis, juga bersahabat, terasa seperti lagu indah di telinga. “Sudah, sudah, memangnya kenapa kalau sama-sama di sini? Kan lebih menyenangkan kalau ramai.”
Harim dan Jati diam, tetapi lirikan mereka kepada satu sama lain yang begitu menusuk, agaknya sama sekali tak selaras dengan ucapan Meisie.
“Duduk, Mas Harim,” katanya dengan ramah.
Mereka sudah mengenal sejak cukup lama. Harim jauh lebih dewasa, meski usianya hanya terpaut dua tahun dari Meisie. Mungkin karena gadis itu begitu menggemaskan, sedangkan Harim tampak gagah dengan sikap tegap khas anggota Kepolisian Khusus dan bicaranya yang cenderung tegas, terbawa oleh pekerjaannya sebagai letnan kolonel—meski dia begitu berbeda bila di depan Michell seorang, seperti anak kucing terlantar yang baru saja menemukan majikan baru. Mukanya pasti akan persis seperti itu, andai Jati tak ada di ruangan yang sama.
Harim mendengus kesal.
Jati tak kalah sebal. Wajahnya yang tadi santai, sekarang menjadi tegang tak terusik, seperti ingin menendang Harim pergi. Dia datang jauh-jauh bukan untuk menghabiskan waktu dengan pria yang lagi-lagi masih harus muncul di hadapannya.
“Mas Harim mau teh?”
Jati langsung menyela, “Gak usah dibikinin, Mbak Meisie. Ngerepotin doang bisanya orang itu!”
“Diem lu, pasti iri!”
Meisie lagi-lagi tertawa manis melihat tingkat mereka. “Mas Jati, teh, ya?”
“Eh, iya, Mbak,” katanya, langsung sok lemah lembut.
Harim menyahut seketika, “Dih, jijik!”
Lagi-lagi, Meisie tertawa manis. “Teh dua-duanya, ya?” Akhirnya, dia tetap menyiapkan untuk mereka, terlepas dari adu mulut antara Harim dan Jati—yang sesungguhnya menghibur baginya.
“Mas Jati, kok waktu itu gak turun dari mobil waktu itu?” Meisie meletakkan tiga gelas teh di meja ruang tengah. Pertanyaannya menutup perdebatan yang sudah hendak dilempar oleh Harim maupun Jati.
Meisie ikut duduk di sana, di tengah-tengah mereka yang berada di masing-masing ujung sofa. Dia memilih posisi yang tak begitu dekat dengan Jati, tetapi Harim masih lebih jauh.
Muka Jati berubah seketika. Dia tahu Meisie membahas hari lalu ketika mampir untuk menitipkan kucing mereka, Suit, tetapi hanya Bana dan Haui yang turun dari Fero. Sementara dirinya memilih tetap berada di kabin.
Harim ada di sana. Tatapan Jati sedikit bergeser, membuat pria itu muncul di ujung pandangannya. Dengan keberadaan orang itu, rasanya menjadi jauh lebih susah untuk menjawab pertanyaan Meisie—lebih lagi ketika Jati menyadari bahwa ekspresi Harim juga berubah.