Dito tidak pernah benar-benar ingat wajah ayahnya. Hanya samar-samar, seperti bayangan dalam mimpi yang sering kabur sebelum subuh.
Ia hanya tahu: ayahnya pergi merantau saat ia belum bisa membaca, dan tak pernah pulang lagi sejak itu.
“Ayah kerja di kota, Nak. Biar kita bisa hidup lebih enak nanti,”
kata ibunya suatu malam, saat Dito bertanya kenapa hanya mereka berdua yang makan di lantai dapur.
Tapi "nanti" itu tidak pernah datang. Tahun-tahun berlalu. Lebaran berganti. Surat tak pernah sampai.
Telepon tak pernah berbunyi. Bahkan tak ada kabar kematian—yang artinya, tak ada alasan untuk benar-benar berhenti berharap.
Hidup Dito adalah menunggu seseorang yang entah masih hidup atau sudah jadi abu.
Tapi tak pernah kembali, bahkan sebagai abu.
Ibunya, Laras, tak pernah bilang suaminya pergi selamanya. Ia hanya selalu bilang: