Saat masuk SD, tubuh Dito mulai menonjol. Gempal. Pelan. Berat.
Ia selalu duduk paling belakang, bukan karena nakal, tapi karena kursi di depan tak muat lagi untuk tubuhnya.
Dan seperti takdir anak-anak yang berbeda:
dunia anak-anak bukan tempat ramah. Mereka kejam tanpa sadar, mencaci tanpa niat jahat,
namun dampaknya seperti racun yang perlahan membunuh semangat.
“Gajah lewat!”
“Eh minggir, truck lewat!”
“Dito, jangan duduk di meja, nanti ambruk!”
Awalnya Dito tertawa bersama mereka. Berpura-pura kuat.
Tapi lama-lama, hatinya seperti kaca yang retak—tak kelihatan, tapi tinggal menunggu waktu pecah.