Cermin kecil di kamar itu tergantung miring di dinding yang lembap.
Dito menatapnya setiap pagi—bukan karena ingin memastikan kerapihan rambut, tapi karena di balik pantulan itu, ia melihat seseorang yang tak ia kenali.
Bocah laki-laki dengan pipi bulat, dagu berlapis, dan mata yang kehilangan cahaya.
Ia berdiri di sana, menggenggam kaus yang sudah kekecilan, dan bertanya lirih:
"Apa ini alasan mereka tak mau duduk di sebelahku?"
Ia tidak ingat kapan tepatnya tubuhnya menjadi alasan dunia menjauh.
Tapi sejak masuk SD, panggilan seperti "gendut", "lemot", dan "gajah" menjadi sarapan pagi, makan siang, dan makan malamnya.
Bahkan saat ia menang dalam lomba menggambar, suara gurunya terdengar setengah hati saat menyerahkan hadiah.
"Pintar kamu, Dito. Tapi kamu harus mulai jaga makan, ya.
Kasihan mamanya, ngangkat kamu pasti berat."