Hari itu hujan turun pelan-pelan, seperti gerimis yang malu-malu mengetuk jendela kelas.
Dito duduk di pojok ruangan, memeluk tasnya erat-erat, sementara suara guru Matematika menggema entah ke mana.
Ia tak benar-benar mendengar apa-apa. Di depannya, Anisa sedang mencatat, rambutnya yang dikuncir satu tampak lembut dan harum meski dari kejauhan.
“Dito,”
bisik teman di sampingnya,
“kamu mau ngasih surat cinta? Hati-hati nanti dibacain sekelas.”
Dito pura-pura tak mendengar. Tapi dadanya bergetar. Karena surat itu memang ada.