Di rumah, Laras sudah menunggu di dapur, menanak nasi dengan batuk yang makin sering terdengar seperti isyarat kematian.
Tapi begitu Dito masuk, ia langsung tersenyum.
“Udah pulang, Nak?”
Dito hanya mengangguk.
“Kok pucat? Teman-teman nyakitin kamu lagi, ya?”
Diam.
Laras mendekat, mencoba mengusap kepala anaknya yang makin tinggi dan makin sepi.
“Gak semua orang tahu caranya jadi manusia, Dito.
Tapi kamu… kamu gak salah. Dunia aja yang terlalu bengis.”
“Aku jelek, Bu…”
“Enggak.”
“Aku gendut. Teman-teman bilang aku kayak… kayak bangku patah. Kayak beban.”
“Aku juga pernah dibilang beban sama orang yang kucintai dulu,”