Fajar belum sempat menggeliat, tapi tubuh Dito sudah membungkuk di bawah beban karung cabai yang nyaris menelan tubuhnya sendiri.
Napasnya pendek, pundaknya perih, dan lututnya nyeri seperti mau lepas dari sendi.
Tapi langkah harus tetap ditarik. Karena uang sekolah tak menunggu iba.
Di pasar, ia bukan anak SMA. Ia cuma kuli panggul tanpa nama.
Tidak ada yang peduli tubuhnya masih tumbuh.
Tidak ada yang tahu bahwa tangannya yang kasar itu juga dipakai untuk menulis rumus kimia beberapa jam kemudian.
“Dito, cepetan! Karung bawang masih numpuk!”
teriak juragan pasar.
Dito mengangguk cepat. Tubuhnya menggigil oleh angin subuh yang dingin, tapi keringat sudah seperti hujan.
Beberapa luka lama di tangannya belum sempat sembuh, sudah tergores ulang oleh sudut peti dan besi berkarat.
Ia tidak mengeluh. Ia hanya menggigit bibir sampai nyaris berdarah. Karena tidak ada waktu untuk mengaduh.
Hidup tak pernah menyediakan ruang untuk istirahat, apalagi air mata.