Namaku Dito…
anak dari ibu yang mati sebelum aku tahu cara hidup,
dan ayah yang pergi sebelum aku bisa mengerti arti pulang.
Setiap pagi aku bangun bukan dengan semangat,
tapi karena bunyi ayam pasar yang mengingatkanku bahwa aku belum mati.
Setiap malam aku tidur bukan karena lelah…
tapi karena dunia terlalu sunyi untuk aku tangisi terus-menerus.
Aku tumbuh bukan di dalam rumah, tapi di antara retakan dinding kenangan,
yang setiap sudutnya masih menyimpan bau tubuh ibu yang kini cuma nama di batu nisan.
Kalian lihat aku tertawa—keras, lantang, lucu.
Tapi kalian tak tahu, itu kulakukan agar kalian tak pernah bertanya,
“Kenapa bajumu selalu sobek?”
“Kenapa matamu sembab tapi kau malah melucu?”
Di pasar, aku jadi kuli.
Mengangkat karung lebih berat dari beban yang kusembunyikan di dada.
Darah di telapak tanganku bukan karena luka…
tapi karena hidup terlalu pelit untuk memberi jeda.
Aku pernah kelaparan dua hari penuh,