Aula sekolah masih bergema oleh keheningan.
Ember-ember pedih itu menggantikan tepuk tangan yang dulu berpindah tangan dari kesedihan.
Dito melangkah turun dari panggung.
Langkahnya berat, seakan setiap inci lantai menolaknya untuk pergi.
Di antara bisik-bisik siswa dan tetesan air mata orang tua,
satu hal jelas: mereka baru saja mendengar jeritan luka yang selama ini dipaksa disamarkan tawa.
Tanpa menoleh, Dito berjalan keluar.
Hanya satu tas lusuh di punggungnya—tas penuh bekal pura-pura kuat—dan secarik kertas terlipat di saku baju.
Jalan yang Teramat Sunyi