Ibu…
Aku berdiri di tempat yang dulu hanya kita tahu hari selasa adalah hari pasar.
Aku sudah lulus, Ibu.
Mereka semua menunggu tawa—bukan luka.
Mereka bilang aku kuat,
tapi tak pernah lihat aku merajuk lapar demi uang seragam.
Mereka bilang aku ceria,
tapi tak pernah dengar aku mengerang saat lututku berdarah di lorong rumah.
Ibu…
aku menabung pelukanmu di hati,
karena bahagia dengan singkatan.
Tapi kini, pelukan itu habis.
Peluhmu—peluh untuk cuci bajuku,
peluh untuk genggam tanganku—terlalu cepat kering.
Ibu mengajarkan aku tersenyum. Tapi dunia mengeruk luka.
Kini aku tahu: senyum tanpa hati hanyalah racun.
Ibu, aku capek pura-pura baik-baik saja.
Aku capek jadi badut yang mereka tepuk tangani.
Aku ingin dunia mendengar tangisku—bukan tawa palsu.
Tangismu di dapur saat aku menangis dulu itu…
Doamu di tiap suap nasi basi…
Itulah satu-satunya kecupan yang kugapai.
Ibu…
aku mencintaimu lebih dari udara,
lebih dari gemerisik daun,