2 Juli 2024
Untuk Kamu
Kala itu, kemarau panjang telah membuat tanah gembur di ladang mengering, seolah-olah merindukan air yang telah lama sembunyi. Jalan di desa yang belum beraspal menampakkan retakan-retakan kecil di permukaannya. Daun-daun pohon pun tampak layu dan mengering, bak lelah menjalani hidup. Genting-genting rumah warga termasuk milik Kakek dan Nenek, bila dilihat dari kejauhan, atap-atapnya terlihat bagaikan permadani merah yang kehausan. Bahkan saat langkah kaki menyentuh tanah kering, debu halus mengepul ke udara dan berputar-putar di bawah terik matahari. Parahnya air di setiap sumur warga semakin surut. Semua itu kulihat saat musim kemarau berkepanjangan melanda Desa Sarang Manis.
Seolah-olah Tuhan telah merasa cukup mengunci hujan, siang di kemudian harinya, yang awalnya kuduga akan terik, tahu-tahu langit mendung. Para warga yang lagi di luar rumah termasuk aku, kendatipun aku nggak bertanya langsung, tapi wajah mereka memancarkan kebahagiaan.
Benar saja, aroma basah yang sepertinya dirindukan banyak orang, menguar dan terhirup hidungku. Hujan turun dengan lembut, seperti tengah melepas dahaga tanah yang merindu akan tetesan air. Aku lekas masuk rumah.
Sebagaimana anak-anak seumuran, aku ingin mandi air hujan, berlari menyusuri setiap jalan pedesaan, bermain di gang-gang yang dipenuhi air dari talang atap rumah, atau sekadar berjalan santai di pematang sawah. Namun, sebelum aku bisa keluar rumah, Kakek sudah berdiri dengan sapu di genggaman, yang melambai-lambai ke arahku. Jika aku berani keluar, ujung sapu itu pasti menyambar pantatku.
Namun, aku nggak takut, malah meledek beliau biar tersulut dan mendekat, tapi Nenek bilang padaku dengan aksen 'ngapaknya', “Hujan pertama isinya penyakit. Besok bolehlah hujan-hujanan.” Sering memang, kalimat semacam itu diucapkan oleh orang tua di sini, entah itu betul atau nggak.