2 Juli 2024
Untuk Kamu
Sesungguhnya pikiranku lagi kacau-kacaunya, tapi karena kamu butuh tahu banyak untuk meyakinkan dirimu, maka aku pun memaksa diri menulis. Kayak rasanya sayang banget bila pena dan buku pemberianmu nggak aku isi, seperti katamu, “Tulis apa pun yang kurasakan. Apa pun!”
Rasa-rasanya ingin sekali menulis yang panjang, tapi dalam situasi seperti ini, itu seperti melajukan mobil di jalanan berlumpur. Kamu paham, kan? Nggak mudah.
Sejak lama aku ingin membongkarnya, tapi ketakutan pada stigma buruk dari masyarakat pada tahun itu, bikin keberanianku melempem sebelum mengungkapkan. Bahkan, menulis ini pun, rasa-rasanya seperti sebuah kesia-siaan. Mengapa begitu? Seperti apa yang terjadi sekarang, biarpun aku nggak melihat atau membaca setiap reaksi orang-orang di luar sana, tapi dari respons selepas peristiwa beberapa hari lalu, aku merasa nggak mendapatkan keadilan, selain dirimu yang bagiku pun terlihat ‘mencoba keras untuk bersimpati tapi dengan syarat’.
Maaf bila terlalu jujur mengenai dirimu. Namun, biarpun aku menganggap begitu, aku akan tetap menulis kisah lanjutannya. Oh, iya, sebelum masuk dalam duniaku lagi, terlebih dahulu aku ingin memujimu. Ya, kemarin-kemarin … maaf banget … begini, responsku barangkali terlihat olehmu kayak nggak ingin diganggu dan bikin kurang nyaman. Namun, sejujurnya kamu cantik. Jika kamu terlahir jadi laki-laki, pasti sebandinglah, gantengnya. Ups.
Nggak perlu senyum-senyum baca ini. Eh, tapi kalau mau senyum silakan saja, toh aku nggak melihatnya. Okelah, aku lanjut kisahnya.
~•~
Masih di kala itu, hujan nggak kunjung reda. Aku yang masih kecil, sama sekali nggak tebersit pikiran aneh-aneh. Ustaz Nur bersama dengan Kakek dan Nenek lagi ngobrol. Entah apa yang mereka obrolkan, bahkan aku pun nggak tahu maksud dan tujuan dia bertamu. Yang jelas, setelah Kakek dan Nenek mempersilakan Ustaz Nur duduk di sofa, aku menyingkir dan tiduran di ruang tengah di atas kasur busa yang bertahun-tahun belum diganti.
Kasurnya masih empuk kok, tapi nggak dengan sofa yang berdiri di atas lantai semen di ruang tamu. Semenjak aku dititipkan dan ditinggal merantau orang tua di Kota Jakarta, dari awal kedatanganku, sofa itu belum pernah diganti. Ya, tinggal di keluarga petani, bisa makan di hari esok itu sudah sangat beruntung.