Tuhan, Boleh Ya, Aku Tidur Nggak Bangun Lagi?

Athar Farha
Chapter #5

Lanjutan Surat

Rintik-rintik hujan yang berulang kali menyentuh tubuhku, dinginnya seolah-olah berusaha memadamkan kekesalan hatiku. Aku memijit-mijit pergelangan kakiku. Gemuruh kecil lagi-lagi terdengar, dan hawa dingin yang sejak tadi kurasakan terasa menyusup lebih dalam ke tubuhku. Kupikir, mending pulang saja.

Aku beralih pandang memandang Barzah yang menepuk pundakku. Dia lantas membantu aku berdiri.

Perlahan-lahan aku bangkit dengan masih merasa agak nyeri. Aku memandang teman-teman, mereka memperhatikanku dan tampak khawatir. Ramdan bertanya, apakah diriku baik-baik saja. Aku mengangguk dan tersenyum dengan menahan kekesalan, toh percuma juga mengeluh.

Bukan hal aneh kok mengenai anak-anak yang nggak kenal ‘mengeluh’ bahkan nggak mengenal istilah manja. Selama aku hidup di Desa Sarang Manis dan beradaptasi dengan lingkungannya, didikan keras dari keluarga telah membentuk kepribadian kuat anak-anak sejak dini. Hal demikian barangkali sulit dipercaya, tapi begitulah, aku anak desa yang bukan lagi anak kota.

Sekian detik lamanya aku masih berusaha menenangkan diri dari rasa kesal terhadap Haru. Se-nggak peka itukah dirinya padaku atas perbuatannya? Dia kayak nggak peduli. Namun, aku juga mencoba berprasangka baik, bahwa mungkin Haru agak kurang mengerti, tindakannya sudah melukaiku. Berhubung aku nggak mau merusak suasana permainan, dengan perasaan campur aduk, aku memutuskan untuk melanjutkan permainan.

“Yakin bisa, Dam?” Haru bertanya dengan nada yang kayak nggak ada rasa bersalah. Itulah yang terdengar. Dia bahkan nggak mendekat atau sekadar mengecek bekas perbuatannya.

Aku nggak menjawab, tapi mengangguk dengan sangat enggan.

Setelah beberapa kali jalan di tempat, rasa nyerinya agak berkurang. Lagi pula buat apa marah lama-lama? Hal begini sudah biasa dalam permainan, kan? Dan kurasa kesenangan bersama teman-teman itu lebih berarti.

Pertandingan berlanjut lagi.

Kala itu aku mencoba fokus pada pergerakan bola yang lagi-lagi diamankan Haru dengan gerakan lincah kakinya. Namun, aku nggak terlalu berambisi untuk bisa menembus gawang timnya—Bambang yang berada di dalam kotak penalti, kayak ingin sekali ikut menyepak bola.

Begitulah, Haru memang lihai main sepak bola, maka dari itu, dia paling sering menguasai bola, yang padahal bukan bola sungguhan. Terserah Haru mau bergaya macam apa pun, aku nggak peduli, tapi pas kulihat Barzah yang juga berlari mengiringi Haru, muka Barzah tampak cemberut. Kukira itu karena bentuk wajahnya yang dikombinasikan gigi tonggos, tapi bila diperhatikan lebih teliti, Barzah tampak kesal. Mungkin Barzah juga ingin diberi umpan bola sebagai bentuk kerja sama antar pemain satu tim.

Dan aku masih mencoba merebut bola dari Haru, dengan pergelangan kakiku yang setiap beberapa detiknya, rasa nyeri bak merambat. Setiap kali bola kaus ditendang, bola itu memang meluncur ke depan, tapi gerakannya nggak terduga. Kadang melambung sedikit, kadang bergulir pendek dan berhenti mendadak, tapi Haru mampu mengendalikan dan mempertahankannya biarpun bentuk bola kaus semakin nggak beraturan.

Aku berlari terus, dan sekarang berada di belakangnya, sedangkan Senot menghadang laju Haru. Secara tiba-tiba, Haru menendang bola kaus dengan tenaga penuh. Seolah-olah air yang menggenang di lapangan nggak jadi hambatan, bola kaus melesat dan menembus gawang timku. Kulihat Ramdan cengar-cengir, nggak ada raut kekesalan di wajahnya.

Lihat selengkapnya