Entah mengapa, aku biasanya nggak gentar dengan omelan Kakek—kuanggap ‘angin lalu doang’—dan kuhadapi dengan senyum atau tawa kecil. Namun, sore itu, ketika mendengar teriakan beliau yang begitu kerasnya dan diiringi gemuruh, lebih-lebih kemungkinan beliau melihat perkelahian aku dengan Haru, aku jadi merasa ‘semua yang harus kulewati selepas perkelahian nggak akan mudah’
Kakek tampak melangkah cepat-cepat, dengan masih di bawah naungan payung, yang kuyakini, gagangnya beliau pegang erat. Sejenak, aku memandangi teman-temanku, termasuk Haru; wajah mereka memperlihatkan ekspresi cemas. Aku kembali memperhatikan Kakek yang semakin dekat. Tatapan Kakek mulai jelas di mataku, tampak tajam, seolah-olah dipenuhi kekecewaan dan amarah. Sejujurnya baru kala itu aku melihat tatapan Kakek setajam itu.
Sungguh, jantungku berdegup kencang, seolah-olah bisa meledak kayak petasan kapan saja. Entah mengapa, aku juga merasa perutku seperti ditekan-tekan oleh sesuatu yang nggak terlihat. Melihat tatapan tajam Kakek, bikin aku ingin melarikan diri. Namun, kedua kakiku terasa kaku, berat, kayak tertancap di tanah. Semakin Kakek dekat, mendadak sorot tajam matanya, dalam penglihatanku berubah seperti mata elang yang siap mencengkeram mangsa.
Saat Kakek telah benar-benar berdiri di hadapanku, dia bilang begini: “Badung banget!” Itu yang kuingat, sih. Entah apa lanjutannya, tapi yang jelas suaranya terdengar keras.
Anak kecil mana yang nggak takut dibentak macam itu? Cukup lama Kakek marah-marah, dan ternyata merembet memarahi Haru dan teman-teman lainnya. Namun, aku yang paling banyak kena omel. Pertama, karena aku bolos ngaji, kedua dikarenakan hujan-hujanan, dan ketiga mengenai perkelahian barusan.
Bila saja Kakek hanya memarahi aku, rasanya aku nggak akan terlalu merasa ‘nggak enak hati’ pada teman-teman. Aku yakin sekali, besoknya di sekolahan, momen Kakek marah-marah pasti bakal dibahas. Namun, yang lebih ngeri, ialah tindakan keras Kakek bila nanti aku di rumah.
Pikiran buruk mulai menghantui pikiranku. Aku membayangkan Kakek menatapku dengan sangat tajam dan mungkin beliau akan menyabetku dengan rotan. Namun, secepatnya aku berusaha mengenyahkan bayangan buruk yang belum tentu terjadi.
Omelan Kakek sesekali diiringi gemuruh kecil. Saat Kakek kembali melangkah untuk lebih dekat denganku, dan ketika aku telah berada di bawah naungan payungnya, di hadapan beliau, mendadak degup jantungku semakin cepat. Untuk pertama kalinya aku pun merasa kayak ada semacam beban berat di pundakku. Ya, aku takut beliau akan lebih marah lagi, lalu mengungkit keburukan atau kesalahanku yang lain selama aku diasuh olehnya, supaya aku lebih merasa bersalah. Sungguh aku ingin tidur dan berharap semua ini hanya mimpi.
”Balik, Dam!” Aku ingat betul beliau menyuruhku pulang. Terus Kakek kembali berkata dengan nada keras, “Ngeyel! Susah diatur! Maunya pakai aturan sendiri! Kalau lagi dinasihati cuma masuk kuping kanan terus keluar kuping kiri! Kalau orang tua nyuruh ngaji, ya ngaji, Dam!” Kira-kira begitu yang dikatakan beliau.
Tentu saja aku enggan menurut. Aku tahu banget, setelah peristiwa di lapangan, bakal ada eksekusi kedua yaitu hukuman keras, maka dari itu enggan pulang. Aku memang kecil, tapi benar kata Kakek, aku memang ‘ngeyel’.
“Dam! Mau jadi anak tak mau diatur?” Kayaknya susunan kalimat pertanyaan Kakek lebih panjang lagi, tapi intinya begitu.