~•~
Bila waktunya tiba, selepas kamu membaca keseluruhan kisah yang kutulis, aku ingin sekali tahu evaluasi psikologi, yang katamu jauh lebih mudah bila kita saling bertatap dan berinteraksi langsung, kendatipun bisa juga melalui langkah-langkah lain. Maka dari itu, aku memilih media menulis. Hadeeeh, bisa-bisanya aku kasih intro semacam ini. Okelah, yuk, masuk lagi dalam duniaku.
~•~
Saat tiba di depan rumah, dan ketika semua teman-teman pulang ke rumah masing-masing, Kakek tanpa berbicara, melepas semua pakaianku karena basah. Katanya, biar lantai nggak becek oleh tetesan air.
Namun, dengan kesal, aku lari dari darinya—telanjang—dan masuk kamar, tapi belum juga membuka lemari triplek—tempat pakaianku dilempit, Kakek menarik lenganku dan memaksaku duduk di tepian tempat tidur. Dengan sangat terpaksa aku duduk. Kukira hanya duduk, tapi rupanya juga diperintah mengangkat tangan seraya membuka telempap. Saat itulah, batang rotan yang dia pegang dan disembunyikan di belakang tubuhnya, menghujam bertubi-tubi ke kedua telapak tanganku.
Perih lagi-lagi membuatku merintih karena berulang kali kedua telapak tanganku dihujami rotan oleh Kakek. Sungguh, setelah sekian lama tinggal bareng, hari itu, untuk pertama kalinya aku merasakan sakit yang benar-benar sampai ke hati. Aku memang cenderung suka nggak mendengar perintah Kakek, tapi untuk anak-anak, nggak salah, kan, begitu?
Beruntungnya, Kakek menyudahi penyiksaan itu. Aku nggak tahu alasannya apa, tapi mungkin saja beliau lelah. Namun, bukannya aku buru-buru berpakaian, malah jadi malas mencari pakaian dan lebih memilih bugil. Pikirku, biar Kakek marah lagi dan menyiksaku lagi agar dirinya puas.
Tindak kekerasan semacam itu sudah sangat lazim dilakukan orang tua di sini. Aku bisa berkata demikian, karena sering juga melihat anak-anak lain mendapatkan siksaan atas dasar hukuman supaya nggak bandel lagi. Tindakan semacam itu dulu dianggap biasa saja, padahal untuk tahun-tahun sekarang ini, baik pemerhati kesehatan mental anak-anak maupun lembaga perlindungan anak, melarang bahkan mengecamnya karena kekerasan pada anak meninggalkan dampak traumatis.
Pada kala itu, udara dingin rasa-rasanya semakin dingin. Tubuhku bergetar, bukan hanya karena suhu, tapi juga disebabkan oleh ingatan-ingatan buruk; perihal kejadian memilukan di Lapangan Awangan, dan penyiksaan yang mungkin Kakek anggap adalah hukuman dan pelajaran hidup buatku. Sungguh, kedua telapak tanganku terasa seperti terbakar. Setiap gerakan membuat perihnya kian menyengat, bagaikan rotan yang menghajar kulitku masih membekas. Lama-lama aku merasa seperti membeku dan mataku mulai berkaca-kaca.
Kendatipun air mata bagaikan mengancam untuk mengalir, dan rasanya sudah kayak ember penuh, aku nggak mau menangis. Namun, begitulah, setiap detiknya, udara dingin dan sensasi perihnya, bikin setiap detik berlalu seperti sebuah siksaan. Bahkan perihnya pun merambat ke seluruh tubuh. Sungguh, rasa sakitnya benar-benar nyata dan kejam, tapi yang bisa kulakukan cuma menahannya.
~•~
Kamu tahu? Apa pun yang kamu pikirkan tentang kakekku, terlepas zaman sekarang ‘hukuman kekerasan semacam itu telah sangat-sangat dilarang’, tapi sampai detik ini aku masih meyakini: Beliau berbuat demikian keras karena memang peduli padaku, hanya saja caranya sekeras itu.
Aku sedang nggak membela beliau, tapi sebenarnya, perilaku diriku kala itu memang nggak baik. Seharusnya aku patuh. Bila patuh, perih dan sensasi terbakarnya nggak mungkin kurasakan.
~•~