Tuhan, Boleh Ya, Aku Tidur Nggak Bangun Lagi?

Athar Farha
Chapter #8

Bagian Pertemuan

Gue menghela napas. Entah mengapa rasanya kayak sesak, seperti ada benda padat menghalangi rongga pernapasan ketika selesai membaca surat dari Damai. Rasa-rasanya butuh kesabaran tinggi untuk benar-benar mengetahui faktor di balik perbuatannya, biarpun begitu, membaca sampai di sini pun sudah menyesakkan dada.

Pembunuhan yang diperbuat Damai pasti ada pemicunya. Gue yakin banget. Yang dibutuhkan saat ini cuma sabar. Ya, orang-orang seperti Damai butuh penanganan khusus untuk dapat bercerita secara langsung. Mungkin, dia belum menemukan seseorang yang bisa dipercaya. Maka tugas gue saat ini membuatnya percaya dan yakin ada seseorang yang mau mendengar dan peduli padanya.

Sejujurnya gue penasaran, tak cuma pada kisah nyatanya, tapi juga pada sosoknya. Dia pasti menyimpan banyak luka dalam hati yang selama ini sulit diekspresikan. Dan dari surat-surat Damai, untuk saat ini gue rasa, Damai punya bakat menulis. Tulisannya lumayan rapi dan tertata. Sampai-sampai gue kayak dilibatkan. Perasaan Damai ketika diseret kakeknya dan mendapat hukuman itu, benar-benar terasa nyata. Gue memang masih belum bisa berasumsi banyak-banyak, terkait orang-orang yang dia tulis di surat itu, tapi gue rasa itu sangat penting. Gue jadi penasaran dengan Haru.

Lebih dari itu, kendatipun Damai kayak pasrah begitu saja, gue tak akan tinggal diam. Dia punya hak mendapat bantuan hukum. Untungnya, gue punya sobat yang mau membantu menangani kasus Damai. Terlepas Damai belum tentu mau menerima bantuan ini karena gue belum bilang ke dia, tapi ‘bodo amat’, dia harus dibantu advokat.

Untuk saat ini gue mau fokus sama advokat itu, yang sepertinya nggak lama lagi bakal ke sini. Aslinya gue sudah tidak sabar menceritakan semua padanya, tapi sayangnya belum banyak informasi Damai berikan. Namun, gue yakin, sobat gue akan tertarik dan akan membantu Damai. Gue meyakini Damai nggak benar-benar bersalah dan mungkin dia cuma korban.

***

Saat ini gue lagi duduk di sofa bludru ruang tamu. Rasanya sudah tidak sabar bertemu dengannya. Ya, walaupun sobat gue rada-rada ‘gesrek’ dan terkadang tindakannya di luar nalar. Namun, dia selalu profesional menangani kasus.

Banyak kasus yang sudah dia menangkan, satu di antaranya: Kasus pembunuhan yang melibatkan mantan kekasihnya. Kasus itu heboh banget karena berujung pada terungkapnya Klan Vian, organisasi penjualan organ tubuh manusia. Termasuk terbongkarnya bobrok para pengadil di pengadilan. Waktu itu kasus ini pun sampai merenggut nyawa suaminya. Sayangnya, gue nggak terlibat karena pada saat itu, dia memang nggak kepikiran melibatkan gue.

Yang jelas, kami pernah satu universitas. Namun, berbeda jurusan. Dia memilih hukum, sementara gue psikologi. Meski demikian, di masa-masa kuliah kami sering bertemu dan mengobrol. Dia itu sosok menyenangkan, meski terkadang menyebalkan saat sifat ‘gesreknya’ kambuh.

Terdengar suara dari balik pintu, pun dengan ketukan berulang yang terdengar keras. Dasar! Sepertinya, dia sudah tidak sabar bertemu dan berbincang dengan gue. Dan dengan semangat gue menghampiri pintu lalu membukanya.

"Rain! Apa kabar? Aku kangen kamu." Suaranya agak terdengar cempreng. Lantas mendekap gue dengan erat.

Hampir saja gue oleng. Beruntung, gue bisa menyeimbangkan tubuh. Tanpa rasa bersalahnya, dia menarik tangan dan membawa gue masuk.

"Ini Tuan rumahnya siapa, ya?" gerutu gue ketika dia langsung saja masuk dan duduk.

Eh, dia terkekeh. Mungkin merasa lucu melihat ekspresi wajah gue—manyun dengan melipat kedua tangan di atas perut.

"Duduklah, jangan berdiri saja. Nanti kakimu kram." Dia meledek gue sambil menepuk-nepuk sofa, memberi kode untuk duduk di sampingnya.

Lihat selengkapnya