Tuhan, Boleh Ya, Aku Tidur Nggak Bangun Lagi?

Athar Farha
Chapter #9

Bagian Kedatangan Wartawan

Gue masih bercerita pada Laras sambil mengingat-ingat perjumpaan pertama dengan Damai.

***

Tadinya, gue mau pergi dari hadapan Damai. Sebab, sepertinya, dia tidak mau didekati oleh siapa pun. Namun, niat itu gue urungkan karena gue penasaran sebenarnya Damai kenapa, dan kasus apa yang dia hadapi sampai begitu ketakutan seperti itu? Itu karena belum banyak informasi yang diberikan pihak rutan ke gue.

Kepala gue mulai berisik. Pertanyaan-pertanyaan mulai menggelayuti pikiran. Damai melirik ke arah gue sekejap. Lalu, dia kembali menunduk. Gue diam sejenak. Mengatur napas dan pikiran supaya tetap tenang. Kira-kira sepuluh menit berlalu, gue coba berkomunikasi lagi dengannya.

"Elu jangan takut. Gue psikiater yang ditugaskan untuk ngasih bimbingan konseling di rutan ini. Kalau elu tidak mau bicara secara langsung, elu bisa tulis semua di buku itu. Selesai nulis, robek saja, lalu kasih ke gue. Gue janji akan jaga rahasia elu."

Damai kembali menatap gue. Kali ini sedikit tajam. Gue tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan tentang gue saat ini. Namun, gue yakin dia menerima tawaran gue.

Damai kembali menulis sesuatu. Gue mengamatinya lekat-lekat. Wajah dia begitu serius mengayunkan pena.

Jujur saja, kalau gue tak biasa menghadapi orang-orang macam dia, mungkin akan pergi ke lain tempat dulu, tapi tidak. Sudah sekitar satu jam gue mengamati Damai yang masih menulis. Saat dia selesai menulis, Damai pun merobek kertas beberapa lembar dan diberikan pada gue. Tulisan itu langsung gue asumsikan sebagai cerita pendek. Sekilas gue baca, cukup padat dan ringkas.

Baru satu paragraf, gue beralih pandang padanya. "Gue akan baca tulisan ini. Yang sepertinya berbentuk surat ya. Sekali lagi, gue harap elu tidak takut dan mau sedikit terbuka dengan gue. Gue akan bantu elu.” Dan gue tersenyum kecil. Mencoba meyakinkan dia kalau niat gue baik. Damai tampak lebih tenang dari sebelumnya.

***

Gue lanjutin obrolan dengan Laras. Wanita itu begitu serius mendengar cerita pertemuan gue dengan Damai. Laras menghela napas kasar. Kemudian, gue terdiam sejenak.

"Rain, apa kasus ini sudah tercium media?" tanya Laras pada gue.

Gue menggeleng. “Bukan berarti tak ada media tahu ya. Kasus ini sudah berjalan … puluhan hari, kan? Hampir dua puluh hari, sepertinya. Secara gue jarang nonton TV biarpun ada TV di sini.” Sesaat mata gue tertuju pada televisi layar datar yang terpampang di dinding ruang tamu. “Gue juga jarang buka sosmed, secara gue lebih sibuk ngurusin pasien. Kalau gue bilang belum ada pemberitaan Damai di televisi atau koran lokal, tahu-tahu malah sudah ada.”

"Makanya update berita, Rain. Aku nanya begitu cuma mau nge-tes dikit. Ternyata kamu beneran belum tahu banyak. Jadi psikiater kok ketinggalan berita pasiennya. Hadeeeh! Coba setel TV-nya.”

Sesaat gue mengedarkan pandang ke meja—tak ada camilan atau wedang perjamuan—dengan mudah gue temukan pengontrol televisi yang tergeletak di atas meja dan menekan tombol merah sambil diarahkan ke televisi.

“Sorry, ya, Ras. Ini malah elu belum gue bikinin wedang.” Lantas gue terkekeh.

“Gaje banget, deh.” Laras pun terkekeh.

Televisi sudah menyala sekian detik dan gue mencari ‘saluran berita’. Gue kaget saat melihat ada pemberitaan mengenai kasus pembunuhan yang dilakukan Damai.

"Sial. Kasus Damai hari ini seheboh itu. Paling males kalau tiba-tiba ada wartawan datang dan menyerbu gue."

“Belum ada, sih. Tapi, ya, malas berhadapan sama mereka. Pasti nanya ini itu. Ini juga bukan kasus main-main. Sudah pasti gue akan dicecar para wartawan yang berusaha mengorek informasi. Eh, tapi, mungkin karena petugas lapasnya belum kasih info apa pun tentang Damai, jadi belum banyak yang tahu kalau gue termasuk di pihak damai sebagai orang yang mencoba memahami kejiwaannya.”

Mendadak ada suara-suara di luar rumah. Gue mendengar seseorang berkata, “Selamat siang.” Bahkan suara pintu diketuk berulang-ulang pun terdengar. Mendadak gue agak panik.

Lihat selengkapnya