Tuhan, Boleh Ya, Aku Tidur Nggak Bangun Lagi?

Athar Farha
Chapter #10

Bagian Forum Diskusi

Pagi ini perasaan gue benar-benar campur aduk. Gue duduk di sebelah Laras. Gue sengaja ajak dia karena pasti akan lebih seru saat debat nanti. Kami duduk di tengah mobil, sedangkan bagian depan didudukin sopir dari pihak penyelenggara. Berkali-kali gue mengatur degup jantung agar stabil karena diundang menghadiri forum diskusi yang disiarkan langsung oleh pihak televisi merupakan pengalaman pertama kali.

Sejenak gue mengedarkan pandang pada Laras, yang terdiam sejak pertama kali masuk mobil. Mungkin dia merasakan hal sama.

Astaga! Bisa-bisanya, sampai mau menghadiri forum diskusi, Damai belum gue kabari, dirinya sudah ada pengacara. Duh! Gue lupa. Kemarin, pertemuan kami berakhir agak canggung, jadi … ah, sudahlah. Lagipula, urusan surat kuasa dan meyakinkan Damai terkait perlunya pendampingan advokat bisa diurus belakangan.

Perjalanan ke forum diskusi cukup jauh, tapi gue tak khawatir soal biaya. Semua akomodasi sudah ditanggung. Tapi itu tidak mengurangi beban pikiran gue. Sepanjang perjalanan, ada rasa cemas yang bergelayut, bercampur dengan perasaan lega karena akhirnya gue tak sendiri lagi dalam kasus Damai. Gue merasa bersyukur, tapi juga khawatir—bagaimana kalau diskusi nanti berjalan nggak sesuai harapan?

Di kepala gue, bayangan Damai terus muncul. Apa yang dia rasakan sekarang? Pertanyaan apa yang bakal dilontarkan ke gue sama si pembawa acara? Bagaimana nanti Laras menanganinya? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar, dan rasanya seperti ada benang kusut yang tak bisa gue luruskan, tapi gue harus tetap melangkah karena tak ada pilihan lain.

***

Gue melangkah bersama Laras menuju ruang forum setelah dirias—ini opsional, berhubung riasan gue agak luntur jadi merias lagi, tapi kali ini dibantu penata rias—selepas itu, gue membaca sedikit skrip bahan diskusi.

Nah, saat gue dan Laras menginjakkan kaki di ruangan Studio Forum Diskusi, gue merasa tegang, seolah-olah dipenuhi ketidakpastian yang membekukan udara. Ah, sudah ada orang-orang duduk di meja diskusi.

Cahaya terang dari lampu sorot membuat semua orang-orang yang duduk di meja diskusi berbentuk oval terlihat jelas, setiap gerak-gerik mereka—termasuk gue dan Laras—tampaknya juga telah ditangkap oleh kamera yang menyiarkan acara ini. Gue dan Laras ada di sebelah kanan presenter laki-laki, dan di sebelah Laras ada pria berambut pendek agak keriting juga berkacamata mata, namanya tak asing karena sering wara-wiri disorot media: Pak Eza Zain.

Ketika gue mengedarkan pandang, tampak jelas masing-masing peserta diskusi duduk dengan postur tubuh yang tampak kaku dengan wajah serius, dan mata mereka termasuk gue, kerap melirik ke layar besar yang menggantung di dinding depan. Di layar itu, grafik besar menampilkan nama-nama terlibat dalam kasus pembunuhan yang hangat dibicarakan. Ada foto Damai berikut nama lengkap, lalu foto korban berikut nama lengkap, ada foto gue juga, sedangkan lainnya ialah foto-foto orang yang tak gue kenal, tapi orang-orangnya di sini. Namun, tidak ada foto Laras. Wajar, sih, secara Laras itu wild card, awalnya tidak masuk daftar diskusi, tapi kemudian gue ajak dia kemari.

Dan masih seputar hal-hal di layar itu. Dari teks-teks yang gue baca, kasus pembunuhan yang Damai perbuat, sepertinya telah membelah opini publik dan menjadi perbincangan di seluruh negeri. Gambar-gambar bukti dan sketsa rekonstruksi kasus terus ditampilkan, seakan-akan memperkuat kesan misterius dan kelam dari pembahasan malam ini.

Dan masih dengan mengamati semua peserta diskusi. Di sisi kiri presenter laki-laki, tampak orang-orang bak memancarkan aura ketegasan. Gue yakin banget, di antara orang-orang itu, ada pihak dari korban. Dan baik pembawa acara maupun peserta diskusi, mata mereka kadang berkedip pelan, termasuk gue.

Oh, iya. Ruang studio yang serba modern, dengan peralatan teknologi tinggi, semakin menambah kesan profesionalisme. Gue lihat, sang pembawa acara tampak sudah bersiap dengan beberapa lembaran kertas di tangan dan merapikan pakaiannya. Tidak lama kemudian, seseorang memberikan aba-aba kepada presenter untuk memulai acara, dan terdengarlah musik pengiring mengawali pembukaan.

"Selamat malam, pemirsa. Jumpa lagi dengan saya Galih Pramudi Kurnia yang akan membersamai pemirsa di seluruh Nusantara.” Begitulah si presenter membuka acara diskusi. “Malam ini kita akan membahas kasus pembunuhan yang menggemparkan seluruh negeri: Damai, seorang pria yang mengaku telah membunuh Ustaz Nur. Namun, hingga kini, motif di balik pembunuhan itu masih menjadi misteri.

Di studio kita malam ini hadir para narasumber yang akan memberikan pandangan mereka terkait kasus ini. Yang menarik, kami kedatangan sosok advokat yang sebenarnya tidak kami perkirakan terlibat dalam kasus besar ini. Namun, kami yakin banyak yang sudah mengenal beliau atas kasus besar yang pernah ditanganinya. Sebuah kasus yang akhirnya mengubah wajah hukum negeri tercinta jadi lebih baik. Mari kita mulai dengan pengacara Damai, Ibu Laras.”

Gue berusaha untuk tetap tenang. Laras pun sepertinya mampu mengatasi situasi batinnya. Terlepas si pembawa acara sedikit menyinggung kasus besar itu—gue meyakini menjurus pada kasus yang membuat suami pertama Laras meninggal—tapi gue yakin Laras tidak akan larut pada masa lalu. Sementara itu, di lain seberang pembawa acara yang berjumlah tiga, tengah menatap Laras dengan tatapan serius.

"Terima kasih. Saya ingin menegaskan bahwa meskipun klien saya, Damai, telah mengakui perbuatannya, kami …,” Laras menengok ke arah gue, tersenyum, dan lanjut bicara dengan kesan formal, “Em, kami belum memiliki gambaran lengkap tentang apa yang sebenarnya terjadi. Ada faktor psikologis yang sangat penting di sini yang harus kita pertimbangkan sebelum membuat kesimpulan tentang motif dan kesalahan penuh.”

Selepas itu, Mas Galih melirik pada kertas di tangannya. "Baik. Namun, sebelum kita masuk lebih jauh, saya juga ingin mendengar pendapat dari pengacara keluarga korban. Bagaimana pandangan Anda, Mba Gita, terkait pengakuan Damai ini yang diwakilkan oleh pengacaranya?"

Gue lekas memperhatikan perempuan berkerudung motif bunga itu. Entah berapa umurnya, yang jelas dia duduk persis di sebelah Mas Galih.

Lihat selengkapnya